Feature

Pameran Lima Perupa Bertajuk TutaKata, Di Indieart House Yogyakarta, Hingga 17 Januari 2022

Pameran Lima Perupa Bertajuk TutaKata, Di Indieart House Yogyakarta, Hingga 17 Januari 2022

Pameran Lima Perupa Bertajuk TutaKata, Di Indieart House Yogyakarta, Hingga 17 Januari 2022

Impessa.id, Yogyakarta: Lima perupa beragam asal daerah yang tergabung kedalam Selatan Klub (Seni Lintas Perbatasan), masing-masing, Krismarlianti, Raw Raw, Andi Acho Mallaena, Yula Setyowidi dan Wisnu Aji K, menggelar karya-karya mereka dalam pameran bertajuk “TutaKata” (Tutup Tahun Buka Tahun) di Indieart House Jln. AS Samawaat No.99, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada 28 Desember 2021 hingga 17 Januari 2022.

Andi Acho Mallaena, mengangkat karya lukis gaya kartun, yang merefleksikan konsep-konsep perjuangan berangkat dari pengalaman hidupnya yang penuh perjuangan guna mendapat restu dari orang tua untuk menekuni dunia seni rupa. “Bagi orang Bugis menjadi seniman adalah hal yang tak dikehendaki, karena banyak orang didaerah saya berpendapat seni itu bukan pekerjaan yang menjanjikan, bagi suku Bugis pekerjaan utama adalah menjadi pelaut, kemudian menjadi ASN – Aparatur Sipil Negara, dan berprofesi sebagai dokter. Saya mencoba melawan arus, memilih Yogyakarta untuk menekuni seni rupa dan sudah direstui orang tua,” aku Acho panggilan akrabnya. Alhasil Acho berhasil menyelesaikan S-2 nya di ISI Yogyakarta di tahun 2019.

Acho secara independent, sendirian, menekuni dunia seni rupa di Yogyakarta, menghadapi kekuatan-kekuatan besar komunitas seniman berbagai daerah yang ada di Kota Seni-Budaya ini, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya untuk bisa muncul dikenal khalayak luas khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat ramah dalam mengapresiasi karya seni rupa. Karya Lukis kartun Mantis-nya tampak lucu dan mudah diterima semua kalangan meski dibalik itu tersirat beratnya perjuangan yang harus dilalui.

“Sejak awal karya-karya saya hingga kini selalu mengidentifikasikan hewan Belalang Sembah atau Mantis, unsur biologi yang pernah saya pelajari ketika kuliah di Fakultas Biologi, tetap ada, dan saya kolaborasikan untuk menciptaan karya-karya baru. Makanya melalui karya saya di pameran ini, saya menggunakan visual Mantis sebagai yang utama sekaligus metafor yang menceritakan tentang tokoh-tokoh pejuang yang saya anggap berpengaruh di dunia. Masing-masing, “Mike Mantison” plesetan petinju dunia Mike Tyson, dan Mantis Jackson, plesetan penyanyi Michael Jackson. Kedua tokoh itu untuk sampai pada level tertinggi tentu penuh perjuangan yang tidak mudah,” ungkap Acho.

Untuk karya lukis nya yang berjudul “Antara Pilihan dan Konsekuensi”, Acho memilih gaya urban, street-art, itupun mengandung makna perjuangan, bagaimana dirinya harus berjuang hidup sesampainya di Jogja. Begitu halnya jika dirinya harus tinggal di kampung halaman, mengingat masih kuatnya ‘doktrin’ tetua, lebih baik kerja jadi honorer berapapun lamanya untuk bisa diangkat menjadi PNS, itu yang membuat Acho ‘memberontak’dan hijrah ke Kota Gudeg untuk menentukan pilihannya sendiri sebagai seniman dengan segala resiko dan konsekuensi yang dia hadapi.

Kini Acho sudah menikmati manisnya dunia seni rupa dan mulai berani meng-edukasi teman-teman dan anak-anak muda di kampung halamannya di Bugis untuk membuka wawasan bahwa seni rupa itu bukan lagi ‘kelas tukang’ namun telah memberi kontribusi besar bagi sejarah Indonesia. “Saya mencoba memberikan pandangan kepada mereka, anak-anak muda Palopo-Bugis, mengenai seni rupa dan kejelasan arah dari seni rupa itu, agar pandangan rendah terhadap dunia seni rupa menjadi sirna,” ujar Acho bersemangat.

Menurut Acho, yang memiliki studio di kawasan Padokan-Madukismo, pameran bersama di Indieart House, Kashan-Bantul tersebut menarik karena Selatan Klub beranggotakan seniman dari berbagai daerah dengan latar belakang pendidikan yang beragam namun disatukan di Jogja dan secara intens berdiskusi mengerucutkan impian bersama, menutup permasalahan internal masing-masing anggota untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Sementara itu, perupa Wisnu Aji K menampilkan dua karya lukisnya masing-masing berjudul “Kembali Ke Batua” dan “Diantara Ombak dan Malam Ke-Emasan”, keduanya acrylic diatas canvas yang menurut Wisnu, sapaan akrabnya, berasal dari satu ide gagasan yaitu bagaimana masyarakat Sasak masih mencari identitas dirinya dan saya salah satu diantaranya.

“Nah melalui karya saya yang berjudul ‘Kembali Ke Batua’ saya ingin memperlihatkan bagaimana ideologi dan mentalitas masyarakat Sasak sejak awal. Batua adalah tempat di atas Gunung Batua, setinggi 2200 mdpl (meter-dari-permukaan-laut), yang masih menyisakan bekas bangunan masjid, tersisa umpak-umpak pondasi tiang masjidnya, berikut teras-sering dan dari budaya tutur masyarakat di kaki Gunung Batua, dimana masih banyak berdiri masjid adat di setiap pedesaannya yang mengitari Gunung Batua itu, mereka meyakini bahwa masjid di puncak Gunung Batua yang jika ditempuh memerlukan waktu lima jam pendakian, merupakan cikal bakal masjid-masjid adat yang kini ada di desa mereka. Gunung Batua itulah jawaban asal muasal leluhur masyarakat Sasak di Lombok, setelah tahu hal itu membuat saya melangkah kedepan lebih mantap,” jelas Wisnu yang ikut terlibat aktif di dalam Bencingah Institut, wadah pelestarian tradisi suku Sasak.

Untuk karya Lukis yang kedua, berjudul “Diantara Ombak dan Malam Ke-Emasan”, Wisnu menyitir sebuah ungkapan berbahasa Sasak ‘Kubelauk Kubedaya’ artinya ‘Aku ke Selatan, Aku Ke Utara’ datang dari Selatan dan mencari penghidupan ke Utara, karena kawasan di kaki Gunung Rinjani sangat subur untuk bercocok tanam. Selatan dalam Bahasa Kawi disebut dengan Kuta, sehingga ada Kuta Mandalika, itu kawasan pantai Selatan Lombok.

Diakhir perbincangan Wisnu Aji mengajak teman-temannya untuk hadri di Indieart House memakai Bahasa Sasak “Silaq sementon sami senamian ngiring lalo engat pameranne batur-batur Selatan Klub leg Indiart inggas 17 Januari 2022, bukak bilang jelo laman jam 11 tengari inggas jam 7 kelem”, yang secara singkat mari teman-teman silahkan datang ke pameran kami di Indieart House hingga tanggal 17 Januari 2022.

Achmad Fiqhi WD dalam pengantar kuratorial pameran mengatakan, Selatan.Klub diinisiasi oleh Acho, Aji, Kris, Rawraw, dan Yula sebagai satu wadah (media) bersama dan saling berkolaborasi. Berangkat dari pergumulan yang berbeda, seniman bernegosiasi dan bereksperimentasi dengan membentuk selatan.klub. Wadah untuk mendiskusikan pengalaman, analisa, ide, sampai laku artistik dalam menyertai kontestasi perkembangan seni rupa hari-hari ini. selatan.klub sendiri kemudian diterjemahkan menjadi seni lintas batasan oleh para anggota. Karena memang para inisiator tidaklah berangkat dari latar belakang pendidikan, kultur pun pergumulan yang serupa, melainkan atas dasar negosiasi.

Sejauh ini, Selatan.Klub telah mengorganisir dua pameran, pertama pameran “Avrakadavra” sebagai penahbisan kelompok dan kedua pameran kolaborasi “Truth or Dare” mengundang seniman di luar dari keanggotaan sebagai eksperimentasi. Dan, untuk menutup tahun 2021 Selatan.Klub kembali menawarkan satu tajuk “tutaKata” bagi anggotanya.

Tentang Tema “tutaKata”, menjadi tajuk ketiga yang dipilih oleh seniman selatan.klub sebagai metafora untuk mengungkapkan kegelisahan-kegelisahan yang terakumulasi selama masa pandemi. Kontemplasi intim yang berujung pada bahasa seni-berkesenian (rupa), dan bagaimana para seniman memosisikan energi/ semangat “ini dan itu”. Argumen ini tidak untuk mencurigai bahwa selama masa pandemi para pameris tidak berkreasi pun bereksperimentasi metode menghadapi kenyataan. Melainkan argumen tersebut dapat ditengarai sebagai cara para seniman untuk mendekati pengalaman mereka dan memosisikannya ke dalam perilaku artistik ketika berhadapan dengan tajuk. Berangkat dari tajuk tutaKata inilah, yang kemudian disepakati untuk diolah dan disuguhkan sebagai bentuk kesedihan sekaligus kebahagiaan.

Secara bahasa, kata dipilih sebagai ramalan (analisa) dan harapan para seniman akan masa mendatang. Selaiknya niteni dalam budaya Jawa, atau pengetahuan yang serupa dalam budaya-budaya masyarakat tentang pembacaan alam dan semesta. Usaha untuk melihat bahwa apa yang telah berlangsung dan apa yang akan dihadapi kedepan, disadari akan memberi tekanan berbeda pula. Pertanyaannya kemudian, ialah, apakah sekadar dengan membuat lukisan pun patung (karya seni) lalu akan terjawab?

Tentunya tidak sesederhana "memejamkan mata" lalu tahu-tahu semuanya "indah pada waktunya". Melainkan, pemilihan untuk memaknai dan menandai ide melalui laku artistik adalah satu kesadaran utuh dari para seniman yang diposisikan pun dikomposisi.

Lebih jauh, “ramalan” yang dijalankan oleh para seniman tidak semata matematis belaka, melainkan dengan memadu-padankan rasa dan pengetahuan masing-masing. Sama halnya dalam tradisi hitungan penanggalan lokal (titen) pewindhun (siklus windu). Dalam masyarakat Jawa misalnya berlangsung siklus pewinduan dan atau hitungan per-8 tahun untuk menandai dan memberi petanda. Siklus Windu yang berlangsung sepanjang 32 tahun dengan menggunakan nama sebagai penanda yang dimaknai sebagai petanda tentang berlangsungnya sesuatu.

Seperti, Windu Adhi yang ditandai dengan siklus tahun membangkitkan kebajikan. Windu Kunthara yang ditandai dengan siklus tahun membangun atau berjuang. Windu Sengara ditandai sebagai tahun dengan hal negatif dan bencana yang memberi kesengsaraan. Dan terakhir, Windu Sancahya (Sansoyo) dimaknai sebagai tahun baik untuk memperjuangkan harapan-harapan.

Siklus windu dipilih oleh pameris dengan melihat situasi hari ini, pasca-kegalauan akan pandemi yang dihadapi manusia bertepatan di penghujung windu sangara. Dimana situasi di seluruh belahan dibuat bingung menghadapi sesuatu yang betul-betul menguasai hampir seluruh energi yang ada. Tak kurang informasi yang bisa diperoleh mengenai situasi yang bergolak, akan tetapi, kembali manusia menghadapi dan menemukan cara. Bisa jadi pengalaman pandemi, yang sampai hari ini masih dihadapi bersama. Diyakini oleh para pameris sebagai situasi reflektif yang begitu subtil dan intim, bukan sebagai satu kesia-siaan. Namun mampu memunculkan ide-ide negosiasi antara aku-saya dan kamu-kalian, yang menunggu untuk dibeberkan.

“tutaKata merupakan kata yang dipadatkan menjadi mantra laiknya avada kedavra, namun jika avada kedavra adalah mantra yang serta-merta menjadi. Beda halnya dengan tutaKata, yang lebih menelisik pengalaman sebelumnya, menyiasati, lalu meramal masa depan. Saya menengarai bahwa para pameris berusaha berkolaborasi dengan alam melalui pembacaan windu, yang bertepatan pada penghujung tahun 2021. Tepat pada satu suro di bulan September 2021, siklus berpindah dari windu sengara menuju windu sancahya. Siklus windu yang ditandai dengan berlangsungnya harapan-harapan baik,” ungkap Achmad Fiqhi.

Kembali, apa yang ditawarkan oleh para pameris (selatan.klub) di penghujung tahun ini (Windu Sancahya), ialah komposisi batin yang mungkin saja dialami oleh banyak dari kita. Sekaligus pemosisian kelompok dalam kancah seni rupa kedepannya. Mungkin melalui kesan absrud bentuk-bentuk yang dihadirkan, yang saling silang-sengkarut. Penampakan yang bisa disadari (nikmati) melalui nuansa warna-warna, pun penempatan objek. Walaupun, sejumlah visual juga dihadirkan secara gamblang.

Panjul, seniman senior yang kebetulan hadir di Indieart House sore itu, langsung oleh Impessa.id dimintai pendapatnya tentang dihelatnya pameran lima seniman di Indieart House tersebut. “Secara keseluruhan pameran karya anak-anak muda ini menarik ya, nampak segar, karena dengan keterbukaan informasi saat ini, anak-anak muda sekarang lebih leluasa mengakses informasi yang sangat banyak, bisa berselancar setiap hari, siang-malam, kalau saya bandingkan dengan seniman-seniman terdahulu ibaratnya jika ingin mencari informasi ‘kungkum-nya di Sendang’ (berendam di Sendang) sedangkan anak-anak muda saat ini ‘kungkumnya di tempat tidur’, pegang gadget, berselancar, informasi banyak sekali, itu yang membuat mereka berani menghadirkan warna-warna yang segar, sehingga menarik dan layak untuk diapresiasi,” ujar Panjul.  

Info detail terkait profile Indieart House Bekelan-Tirtonirmolo-Kasihan-Bantul, dapat di klik di medsos berikut ini: https://www.facebook.com/profile.php?id=100009466550633https://instagram.com/indiearthouse?utm_medium=copy_link , http://www.indiearthouse.com/   https://vt.tiktok.com/ZSefBTaJX/ (Achmad Fiqhi WD/Antok Wesman-Impessa.id)