Feature

Pameran Abimantrana, Berkah Semangat Kelompok Kridaro Jogja Di Masa Pandemi

Pameran Abimantrana, Berkah Semangat Kelompok Kridaro Jogja Di Masa Pandemi

Pameran Abimantrana, Berkah Semangat Kelompok Kridaro Jogja Di Masa Pandemi

Impessa.id, Yogyakarta: Tujuh perupa Jogja yang tergabung kedalam kelompok Kridaro masing-masing, Ahmad Alwi, Bagus Triyono, Beni Rismanto, Ekwan Marianto, Ifat futuh, Lukman, Meuz Prast, menggelar pameran seni rupa bertajuk “Abimantrana”, bahasa Sanskerta yang berarti berkah, di G Printmaking Art Studio jalan Letjen Suprapto 60b Ngampilan-Yogyakarta, 23-28 Juni 2021.

Pilihan tajuk “Abimantrana” oleh Meuz Prast, selaku koordinator perupa dimaksudkan sebagai upaya baik untuk menumbuhkan api semangat, bagaimana berkah itu diraih bukan ditunggu, melalui tampilan keragaman karya terbaru mereka, sebagai penanda pergerakan diri dan doa-doa baik untuk mencapai berkah.

“Permasalahan pandemi yang belum kunjung usai ini tentu meresahkan dan menyusahkan semua orang. Di Jepang misalnya, ketika bencana-pandemi terjadi, media dan pemerintah tidak menayangkan kesedihan dan tragedi, melainkan tindak lanjut konkret, melalui tayangan maupun berita yang membangun mental masyarakat, bukan malah menakut-nakuti. Lalu, apakah kita hanya berdiam diri menunggu semua berangsur usai, atau tetap bergerak dan memintal berkah?, ujar Meuz kepada Impessa.id

Dalam kesempatan bincang-bincang di ruang pamer, Minggu (27/6/2021) Meuz Prast yang didiampingi Ekwan Marianto, menguraikan pesan yang tersirat disetiap judul karya lukisannya. Kali ini Meuz Prast  menampilkan empat karya masing-masing berjudul, Introvert, Cape of Hope, Single Origin dan Learning.

“Introvert, berkaitan dengan karakter secara psikologis bagi orang-orang tertentu yang memang secara kehidupan sosial mereka sangat tertutup, introvert, dan dimasa pandemi ini tentunya banyak kelebihan, banyak kekurangan, banyak keuntungan dan banyak kerugian, naa, mungkin bagi orang-orang introvert sendiri, mereka merasa lebih bahagia, karena terutama pembatasan dari Pemerintah dianjurkan untuk tidak bepergian, mengurangi bepergian, mereka bisa lebih berbahagia orang-orang introvert itu, dan sebaliknya, orang-orang yang ekstrovert mungkin akan sangat menderita, jarang piknik dsb, ungkapnya.

Kemudian judul lukisan “Learning”, “Disitu ada samar-samar obyek bukit dan dibawahnya ada perahu kertas sebagai obyek untuk pembelajaran dimana kertas itu kalau kena air langsung hancur, tetapi itu justru di bukit yang keras, jadi bagaimana masyarakat kita menyesuaikan diri dimasa pandemi, hampir dua tahun, dengan hal-hal yang baru, dengan pembatasan-pembatasan baru yang sampai saat ini kita masih belajar, kedepannya meskipun nanti pandemi akan selesai ataupun enggak, sesuatu pembelajaran yang baru ini pasti akan berguna untuk kita semua,” jelasnya.

Untuk karya berjudul “Cape of Hope” atau Tanjung Harapan, Meuz menuturkan, “Ini semacam angan-angan atau impian lah bagaimana kaitannya dengan pandemic ini akan selesainya kapan…Cita-cita seperti Tanjung Harapan tentunya bagi kami, khususnya seniman, harapannya kan pandemic akan cepat selesai, sehingga pergerakan kebudayaan, pergerakan perekonomian akan berjalan lagi, terus kita bisa mengadakan pameran lagi dengan banyak tamu,” tuturnya.

Adapun tentang lukisannya berjudul “Single Origin” Meuz menjelaskan, “Sebenarnya ini bisa dari dua sisi, Single Origin Kopi, atau Single Origin Sendiri dalam kamar dan secara original menghayati pandemi ini. Ke-empat lukisan Meuz Prast karya terbaru 2021 tersebut saling terkait, selaras dengan tema pameran Abimantrana yang bermakna Berkah,” urainya.

Ide tema pameran “Abimantrana” juga merupakan ide Meuz menanggapi masukan dari teman-teman perupa, agar jangan memakai tajuk yang melemahkan semangat. “Masa pandemi kok tema yang dipilih Berkah, berkah apa?” “ya justru itu, bagaimana di masa pandemi ini kita bisa meraih berkah, bisa mencapai berkah, bukan ditunggu,” tukasnya.

Sementara itu, Ekwan Marianto yang menampilkan tiga karya lukisannya kepada Impessa.id mengatakan, lukisan dengan judul “Berkuda”, idenya tercetus ketika dirinya melihat di televisi, melihat di film-film kartun, “Saya suka film-film animasi berkuda, lucu-lucu, gitu. Dari situ saya melukis yang senang-senang. Kalau kita senang, melukispun juga assik. Dari situlah saya tetap berkarya,” ujarnya.

Untuk lukisan berjudul “Momong” itu Ekwan terinspirasi Ketika melihat orang memomong anak di Pasar Malam, “Dengan bahagia anaknya membawa mainan, digendong, akhirnya bayangan itu, terus saya lukiskan dalam karya, biar orang melihat ada memori-memori yang mungkin sama, melihat dengan rasa bahagia. Mungkin dulu digendong sama ayahnya atau siapa, nonton Pasar Malem, lha disitu. Saya berkarya dengan kenangan-kenangan itu, dengan imajinasi saya,” akuknya.

Untuk lukisan berjudul “Merokok” Ekwan mengungkapkan, “Saya ingin melukiskan bahwa orang juga menikmati rokok itu kok juga assik gitu loh, Disitulah saya ambil garis-garis artistiknya, kita kan sering bergaul ya, disitu mungkin ingin melukis. Jadi saya itu melukis itu dengan imajinasi lingkungan sekitar, khayalan saya, disitu yang saya lukiskan,” ungkapnya.

Kaitannya dengan tema pameran, Ekwan menuturkan, “Dengan semangat bahagia, dengan kerja yang baik yang assik, disitu kita dapat imun yang bagus, nah disitu dalam pandemi ini, kita tetap bisa semangat dan maju terus,” tegasnya.

Kelompok Kridaro terbentuk pada tanggal 21 Maret 2013 di Yogyakarta, tepatnya di sebuah tempat yang sekarang lebih dikenal sebagai Rumah Seni Sidoarum. Terdiri dari, Agus Sahri, Ahmad Alwi, Bambang H R, Meuz Prast, Ifat Futuh, dan Lukman Van Gogh. Terlahir atas dasar rasa kekeluargaan,kedekatan emosional,dan dari membanjirnya ide kreatif yang menyatukan mereka.

Kridaro tercipta dari filosofi Jawa ''Kriwikan dadi grojogan'' dalam artian yang konstruktif, yaitu kami mencoba mewujudkan obrolan-obrolan dan diskusi kecil menjadi sebuah eksekusi nyata, baik melalui karya, pameran, maupun kegiatan sosial yang diselenggarakan. Seiring berjalannya waktu ada beberapa teman yang ikut bergabung dalam kelompok ini, yaitu Ekwan Marianto, Bagus Triyono, Beni Rismanto, dan Bayu A B.

Joseph Wiyono dalam kuratorial pameran “Abimantrana” menyebutkan, Jika mencoba memaknai quote “Kriwikan dadi grojogan”, secara harfiah berarti sumber (aliran) air kecil yang mengalir, kemudian bertemu membentuk aliran yang lebih besar, atau disebut grojogan ketika debitnya banyak, dan mengalir (terjun) ke bawah.

Filosofi yang terkandung dalam quote tersebut dirasa tepat sebagai akad bagi para perupa; Meuz Prast, Agus Sahri, Bambang H R, Ifat Futuh, Ahmad Alfi, dan Lukman Van Gogh ketika meneguhkan komitmen dari berbagai kriwikan laten, menjadi satu kekuatan yang harus bisa muncul, mengarus, dan akhirnya menggerojok.

Pengakroniman quote tersebut yang kemudian melahirkan diksi Kridaro yang dipakai sebagai nama bagi kelompok mereka. Hingga di ambang 8 tahun, 'keluarga' ini masih eksis dan setia mengalir dan menjadi bagian arus besar seni rupa Yogyakarta, dalam kapasitas kriwikanpun grojogan. Jika ditelusuri lebih lanjut, rujukan 'kriwikan dadi grojogan' acap, atau malahan berkonotasi paradoks jika berdasarkan kaidah paribasan (saloka) sebagai sumber atau asal quotetersebut.

Dalam literatur Jawa, arti “Kriwikan dadi grojogan” adalah permasalahan kecil menjadi besar dan menjadi-jadi (prekara cilik dadi prekara gedhe tur ngambra-ambra). Atas pertimbangan apa(pun), bukan menjadi soal jika pengakroniman saloka tersebut menjadi Kri-da-ro justru bersumber dari kegelisahan dan respon atas situasi zaman yang juga serba paradoks seperti sekarang ini.

Para perupa kelompok Kridaro memilih jalan air, dari ngriwik sampai nggrojog, tenang menghanyutkan, juga sambil menyelam minum air. Naga-naganya elemen air menjadi senyawa kuat yang menjadi pelarut sekaligus konduktor bagi kriwikan-kriwikan(personil-personilnya) untuk menjadi satu grojogan bernama Kridaro.

Apa boleh buat, jika analisis terhadap karya-karya pada pameran kelompok Kridaro kali ke-5 di G-Printmaking Art Studio milik pegrafis Gunawan Bonaventura, niscaya tidak jauh dari elemen air. Toh juga, senyampang dalam diksi seni lukis kita secara aklamasi masih menggunakan pilihan kata aliran Filosofi Air; sebagai padanan style atau gaya.

Berikut bahasan Joseph Wiyono tentang karya ke-tujuh perupa tersebut. Karya Ekwan Marianto, personel Kridaro generasi kedua, ibarat air dalam wahana permainan, berupa kolam menyenangkan, di mana menjadi tempat asyik untuk bermain air, berendam, pun berlama-lama menyegarkan diri sembari aktivitas apa saja, yang penting asyik-asyik saja. Ekwan Marianto juga tercatat punya kiprah menonjol dalam blantika seni rupa Yogyakarta. Pameran tunggalnya yang ke-5 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 21 Desember hingga 4 Januari 2020 yang begitu spektakuler membuktikan hal itu.

Perupa selanjutnya adalah Meuz Prazt. Karya-karya mutakhirnya semakin berisi dan pekat oleh olah rasa. Ibarat air, maka kedalaman karyanya, jika ingin diselami, sangatlah dibutuhkan kemampuan 'menyelam' hingga jauh ke dasar dari sekadar ambang batas visualnya. Meuzt Prast dalam kelompok Kridaro adalah sosok leader yang siap 'menggelisahkan' segenap personel kelompoknya untuk selalu ngriwik dan untuk kelak siap-siap nggrojog.

Sedangkan personel Kridaro yang lain, yaitu Lukman Van Gogh, karya-karyanya bisa diibaratkan air yang mengalir liar, tumpah-ruah, dan selalu ready tanpa kenal musim. Tidak jarang juga dia menghasilkan karya serupa riak-riak gelombang air yang merefleksikan gundah perasaannya.

Personel Kridaro lain yang karyanya tidak kalah unik, yaitu Beni Rismanto. Menyimak karya-karyanya, bagai mengikuti air warna-warni yang mengalir rapi melalui pipa kapiler; rumit, menjelimet, dan unik. Formasi-formasi garis yang terangkai menjadi bentuk geometrik acak maupun beraturan mampu memanipulasi persepsi visual pemirsa dengan sempurna. Ketekunan Beni Rismanto tersebut bisa diduga terhubung oleh karakter yang bersangkutan sebagai pancinger dan sekaligus craftmanship-nya yang andal.

Personel Kridaro lainnya, yaitu Ifat Futuh. Perupa dengan skill mumpuni dalam hal mencitrakan tekstur dalam karya-karyanya. Jika meninjau karyanya yang temanya bermuatan aspek-aspek keharmonisan dan kedamaian hidup sesama makhluk penghuni alam semesta, maka terasa seperti memandang ketenangan air telaga yang jernih, bersih, dan menyejukkan hati.

Agak berbeda dengan karya personel lainnya, Bagus Triyono yang merupakan personel baru kelompok Kridaro, menampilkan karya hitam-putih dengan gaya surealistik. Bagus Triyono menampilkan karya yang bersifat ilusi, seolah memberi pesan kepada pemirsa, bahwa apa yang tampak di permukaan bukanlah kenyataan sebenarnya. Ibarat penampakan dasar kolam yang mengecoh, terlihat dangkal-padahal dalam, hasil ilusi akibat pembiasan cahaya yang terbelokkan oleh air.

Personel terakhir dari kelompok Kridaro, yaitu Ahmad Alwi, karyanya juga tergolong unik. Ada energi artistik besar yang tersimpan dalam karyanya jika dicermati secara lebih seksama. Karya-karyanya tidak lepas dari elemen garis tegas, lurus, dan terukur cermat. Jika menyadari itu dan yang bersangkutan berani memurnikan lagi, maka 'air perasan' yang didapat adalah kemurnian sejatinya 'air'.

Diakhir tulisannya Joseph Wiyono menambahkan, ada 7 (tujuh) personel Kridaro yang tampil dalam pameran seni rupa bertajuk Abimantrana, selain Agus Sahri, Bayu A B, dan Bambang H R yang absen karena kesibukan masing-masing. Walaupun tidak full team, diharapkan Kridaro tetap menjaga tali air kreativitas dan marwah elemen air sebagai ruh dari segenap kriwikan yang hendak turut serta dalam semesta arus besar grojogan.

Selama tidak ada kriwikan, niscaya akan mustahil menghasilkan grojogan, begitu kira-kira. Toh, senyampang dalam diksi seni rupa kita secara aklamasi masih menggunakan pilihan kata aliran sebagai padanan style atau gaya, maka niscaya menjadi mandat untuk Kridaro agar tetap ‘tak lalu dandang di air, di gurun dirangkakkan (ditanjakkan)’ lewat ngriwik, pun nggrojog di manapun. Dan sebagai kata kunci adalah Abimantrana, sebagai representasi sikap andhap asor, sebagaimana air yang selalu memilih tempat terbawah, sebagai tempat tujuan akhirnya, padahal ia adalah pembawa restu, sekaligus berkah. (Features of Impessa.id by Antok Wesman)