Feature

Perspektif Kebudayaan Dalam Politik Menumbuhkan Sikap Saling Menghargai, Menghormati Keragaman, dan Bersedia Bekerjasama Demi Kebaikan Bangsa dan Negara

Perspektif Kebudayaan Dalam Politik Menumbuhkan Sikap Saling Menghargai, Menghormati Keragaman, dan Bersedia Bekerjasama Demi Kebaikan Bangsa dan Negara

Pelukis Meuz Prast dengan karya lukisannya yang dijadikan Cover Buku berjudul “Dari Jokowi Hingga Pandemi”, karya Eko Sulistyo

Impessa.id, Yogyakarta: Ketika era digital mulai merebak di semua aspek kehidupan, Press kemudian mengalami pemerosotan yang tajam, banyak majalah gulung tikar dan surat kabar pun tinggal menunggu waktu. Meskipun demikian bagi penerbit, dunia percetakan tetap tak tergoyahkan.

Hal itu diungkapkan oleh Candra Gautama, Editor Kepustakaan Populer Gramedia -KPG saat peluncuran buku kumpulan esai berjudul “Dari Jokowi Hingga Pandemi”, karya Eko Sulistyo yang diterbitkan KPG pada Rabu 31 Maret 2021, pukul 15.00 WIB di Rumah Makan Mertamu, Jalan Sumberan 2 No 4, Ngentak, Sinduarjo, Ngaglik, Sleman.

Peluncuran dan diskusi buku tersebut diselenggarakan oleh Komunitas Goedhang Kebun Damai, komunitas yang peduli terhadap kebudayaan, salah satunya pengembangan literasi dan merawat bumi melalui tanaman.

“Sesungguhnya KPG tidak banyak menerbitkan buku kumpulan esai, namun untuk yang satu ini memang special, karena beberapa persoalan yang ditulis Eko, dikupas dari sudut pandang yang berbeda dengan tatkala dia tulis secara seriius di media massa, Sejumlah tuisannya cukup detail dengan data-data dan mengingat Eko memiliki latar belakang sejarah maka paparannya pun disusun secara sistematik, bahkan diantaranya juga mengupas hal terkait milenial,” jelas Candra Gautama.  

Menurutnya, Cover buku sangat penting jika menghendaki target pembaca adalah generasi milenial. “Menurut pengamatan kami, anak muda itu melirik buku karena tertarik pada cover-nya, masalah dia mau membeli atau tidak, itu urusan nanti, yang penting cover-nya keren,” aku Candra. Kali ini buku kumpulan esai karya Eko Sulistyo yang di terbitkan KPG diberi sampul menarik dari lukisan berjudul “Seri Matamata #37” hasil karya pelukis muda Jogja, Meuz Prast.

Dikatakan, “Esai tidak membuktikan secara eksperimental rasional tetapi meyakinkan secara simpatik tentang suatu kebenaran dan memakai aspek-aspek rasio dan emosi, tetapi aspek rasio tersebut dipakainya secara demokratis. Jadi begitu esai ditulis, terserah orang mau menginterpretasikan dia dalam posisi yang bagaimana, terserah pembaca,” tuturnya.

Ada yang menarik tatkala Arie Sudjito, Sosiolog, Ketua Departemen Sosiologi UGM mengulas buku kumpulan esai berjudul “Dari Jokowi Hingga Pandemi”, karya Eko Sulistyo tersebut. “Saya melihatnya begini, saat Jokowi melayangkan seorang jenderal, banyak politisi kaget, rahasia yang dibaca oleh Eko Sulistyo ialah adanya perspektif kebudayaan dalam politik. Orang tidak menduga dan kaget, tiba-tiba kok Prabowo di akomodasi, pasti banyak orang yang kecewa, itu fenomena apa,” ujarnya.

Ari Sudjito menekankan bahwa demokrasi itu tidak linier, karena itu cara membaca politik jangan dijauhkan dari praktik kebudayaan. Ketika politik itu dibaca hanya berisi testimoni dan sumpah serapah dalam perebutan kekuasaan yang disebut dengan electoral, maka rakyat disuguhi oleh teks-teks berisi tentang kebencian, akibatnya ruang public berisi sampah-sampah yang bukan organik. Sehingga wajar kalau rakyat itu kalau mendengar politik menjadi mangkel (jengkel), namun giliran Pemilu, mangkat (ikut berangkat). Itu kenapa? Ada kerinduan disatu sisi, tetapi ada kebencian Ketika melihat reproduksi teks yang dihadirkan pada representasi di media konvensional dan media-sosial. Kok demokrasi seperti itu, padahal sehari-hari tidak seperti itu?

Ari Sudjito menilai buku kumpulan esai Eko Sulistyo itu mencerahkan. “Jokowi melahirkan genre baru politik yang ditafsir oleh Eko dengan memasukkan perspektif kebudayaan dalam politik sehingga membuat politik kita akan enak dirasakan”.

Buku karya Eko Sulistyo tersebut merupakan kumpulan esai, yang pernah dipublikasikan di berbagai media, terbagi kedalam tujuh tema, masing-masing tema terdiri dari minimal enam tulisan, yang dibingkai dalam bab. Bab Pertama “Politik, Kekuasaan, dan Kebudayaan”. Bab Ke-dua, “Pemilu, Demokrasi Substansial, dan Protes Global”. Bab Ke-tiga, “Globalisasi Virus dan Politik Vaksin”. Bab Ke-empat, “Musik, Kartun, dan Politik Kegembiraan”. Bab Ke-lima, “Kemerdekaan dan Perdamaian Dunia”. Bab Ke-enam, “Pahlawan, Tragedi dan Kekuasaan”. Bab Ke-tujuh , “Obituari: Bukan Kisah Kematian”.

Sejak masih mahasiswa Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra UNS (Universitas Sebelas Maret) Eko sudah aktif menulis di media. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, ia pernah memegang beberapa jabatan, misalnya Deputi Konunikasi Politik dan Deseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (2014-2019), Komisaris PT Danareksa (2015-2020), dan sejak November 2020 Eko menjabat Komisatis PT PLN.

Menyangkut buku itu, Sidarto Danusubroto, Dewan Penasehat Presiden RI menyebutkan, “Buku ini selain memberi pengetahuan dan pemahaman atas ragam peristiwa yang terjadi, juga mendorong tumbuh kembangnya sikap saling menghargai, terbuka dalam berpikir, menghormati keragaman,dan bersedia untuk saling bekerja sama demi kebaikan bangsa dan negara” ujarnya. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)