Institut Seni Indonesia -ISI Yogyakarta Gelar Pameran Secara Daring, 25 Oktober Hingga 5 November 2020

Institut Seni Indonesia -ISI Yogyakarta Gelar Pameran Secara Daring, 25 Oktober Hingga 5 November 2020
Impessa.id, Yogyakarta: Pameran Karya Seni Rupa Luar Ruang Koleksi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta “ISI: Taman Seni”, 25 Oktober sampai 5 Nov 2020, diunggah secara daring di akun instagram @ tks_isiyk.
Kurator pameran Mikke Susanto menuturkan, “Pameran ini ingin menginformasikan kekayaan kampus, sekira 20an karya seni berupa patung, mural, dan instalasi yang didisplay di kompleks fakultas. Agenda ini bertujuan dan diharapkan dapat menciptakan suasana apresiatif dan menumbuhkan kepedulian bagi publik dalam rangka melestarikan benda budaya yang dimiliki kampus seni. Konsep penciptaan dan renungan tentang karya seni yang disajikan di seluruh kawasan pembelajaran ini dibuka kembali untuk memberi apresiasi lebih dari sebelumnya. Peduli tingkat lanjut, kira-kira begitu ujungnya”.
Perupa yang terlibat diantaranya, Edhi Sunarso, Sarpomo, Entang Wiharso, Soewardi, Ichwan Noor, Yoga Budhi Wantoro, Timbul Raharjo, Komroden Haro, Hedi Hariyanto, Yusman, Ismanto, Andri Panjoel, Enka Komariah, Ardianto, Sanggar Dewata Indonesia, Kelompok Semoet, Kelompok IU dan lain-lain.
Menurut Mikke Susanto, secara umum setiap karya yang ada di kampus atau dikoleksi lembaga adalah titipan pesan tentang persoalan keabadian, waktu yang terus-menerus berjalan, memori dan ingatan serta pelajaran hidup. Karya-karya tersebut juga merawat sejarah dan riwayat hidup mereka yang pernah ada di lingkungan akademi. Karya-karya seni selain sebagai elemen estetik, juga dipakai fakultas sebagai sarana belajar. Kampus ibarat museum pemikiran tentang segala hal. Puisi ruang. Karenanya setiap karya adalah pesan dan rasa yang terujud dari para individu dari masa ke masa.
Dalam pengantar kuratorialnya, Mikke Susanto menyebutkan bahwa Kampus merupakan Museum Kehidupan dan Keindahan. Pameran tersebut dilatarbelakangi kondisi kampus dimana sektor keindahan, kenyamanan, kebermanfaatannya masih perlu ditingkatkan. Mengingat bahwa kampus ISI Yogyakarta memiliki puluhan karya seni patung dan jenis karya lainnya yang diletakkan di luar ruang, sehingga dibutuhkan pemeliharaan, konservasi, tata kelola dan sosialisasi yang baik. Sebagian karya seni koleksi kampus belum diberi label judul atau deskripsi karya misalnya, sehingga perlu dilakukan riset kuratorial agar apresian dapat menikmati karya secara utuh.
Dijelaskan, Pameran tersebut juga merupakan bagian dari riset terapan yang diadakan oleh Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta yang mengusung tajuk “Pameran Virtual Karya Seni Rupa Koleksi ISI Yogyakarta di Instagram sebagai Sarana Publikasi Kampus”. Dengan menginformasikan kekayaan tersebut, diharapkan dapat menciptakan sejumlah output. Metode riset tersebut diawali dengan mencari permasalahan di lingkungan sekitar sebagai ide untuk melaksanakan kerja. Selanjutnya adalah menggali konsep penciptaan dan renungan operasionalnya. Adapun pelaksanaan metode ini berupa pembersihan koleksi, pemotretan karya dan suasana, editing foto hasil, pemasangan caption, dan pelaksanaan pameran secara virtual maupun fisikal.
“Kampus ISI Yogyakarta adalah kampus seni, yang dicitrakan sebagai kampus yang berisi manusia-manusia kreatif, artistik, dan memberi keindahan. Kampus ISI Yogyakarta sebagai kampus seni perlu menjadi pelopor dalam hal ini, sehingga perlu disadari bahwa segala hal yang ada di dalamnya bermanfaat. Di sisi lain, persoalan penciptaan tidak hanya berbicara masalah terkait dengan persoalan idea dalam konsep bentuk atau visual saja, namun penciptaan dapat meluas menjadi kegelisahan atas ide-ide penciptaan pameran dalam pemanfaatan karya-karya koleksi yang ada di kampus. Upaya memecahkan masalah dipandang penting yang ditawarkan dalam pameran ini, agar karya-karya yang didisplai mampu menentramkan lahir dan batin, sekaligus bermanfaat bagi masyarakat,” ungkapnya.
Dunia seni adalah tempat pengalaman estetis dipertukarkan. Seniman menyajikan pengalamannya ke penonton atau sebaliknya. Inilah yang kemudian disebut sebagai komunikasi estetik. Komunikasi seni tidak hanya menyajikan nilai estetik tetapi juga nilai ekstra estetik termasuk nilai sosial dan moral (Rondhi, 2014). Estetik muncul dari bagaimana mengolah bentuk, pemilihan bahan, dan teknik pengerjaan. Komunikasi menjadi medan kritik untuk pengembangan lebih lanjut, mengingat program ini sifatnya memecahkan masalah dan memberi kenyamanan, maka perlu diadakan sejumlah tindakan agar karya-karya koleksi kampus tersebut tidak rusak, punah, hilang atau tidak terdata.
Menurut Mikke Susanto, Jika ditilik dari berbagai kasus dalam bidang seni, maka ditemukan sejumlah fungsi seni. E.B. Feldman menyatakan bahwasanya seni memiliki tiga fungsi seperti fungsi sosial, personal, dan fungsi fisik. Dimana fungsi sosial (sosial function) berkaitan dan berkepentingan dengan ideologi dan politik di samping fungsi sosial itu sendiri, fungsi personal (personal function) menempatkan seni sebagai ekspresi psikologis dan sebagai ungkapan cinta, seks, kematian, keprihatinan, dan sebagai ungkapan estetik. Adapun fungsi fisik memberi kaitan seni yang dibebankan pula pada fungsi dan keperluan manusia untuk kegiatan hidup secara fisik, seperti bangunan, monumen, arsitektur, barang kerajinan dan industri (Feldman 1967). Dengan demikian pameran ini sangat berguna untuk memfungsikan karya seni sebagai sarana belajar, dan fungsi fisik, sebagai monumen atau karya yang penting bagi mereka yang belajar kehidupan.
“Segala tingkah polah, bidang, atau kehidupan apapun tidak dapat dipisahkan dengan seni. Hubungan sebab akibat yang terjadi akan semakin membuka peluang terjadinya gesekan- gesekan yang lebih tajam apabila tidak ditopang dengan kesadaran dan etika berbudaya yang baik (Susanto, 2003: 68). Karya koleksi yang disajikan di sekitar kampus adalah materi yang sangat bermanfaat untuk melakukan transfer sikap berbudaya yang baik tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai satu materi untuk mempresentasikan identitas diri dari kampus seni ISI Yoyakarta sekaligus menjalankan peran dan fungsi humas perguruan tinggi,” jelas Mikke Susanto.
“Sebelum pameran ini digelar, puluhan koleksi tidak memiliki informasi yang memadai. Belum diberi caption atau label judul atau deskripsi karya, sehingga perlu dilakukan riset kuratorial agar pengunjung atau apresian dapat menikmati karya secara utuh. Dari satu kasus di lapangan ini saja, pameran ini dapat berkontribusi untuk beberapa hal. Kontribusi tersebut antara lain, (1) dapat memberi contoh mengenai sistem kurasi seni rupa yang selama ini belum banyak dilaksanakan yakni kurasi pameran menggunakan luring dan daring; (2) dapat memberi kontribusi berupa penggalian unsur-unsur artistik atau historis karya seni koleksi kampus; (3) serta menjadikan institusi pendidikan seni--dalam hal ini FSR ISI Yogyakarta--sebagai arena pameran, sarana belajar yang berkualitas dan memberi citra diri yang baik sebagai kolektor benda seni berharga; (4) dengan adanya pameran ini, maka pihak ISI Yogyakarta dapat memberi contoh kepada lembaga lain sebagai pelopor dalam mensosialisasikan koleksinya. Melalui pameran ruang fisikal (luring) dan non fisikal virtual (daring), maka sepanjang waktu lembaga ini dapat menjadikan ruang kunjung atau rekreasi bagi publik. Artinya meskipun ini pameran yang skala fisiknya hanya di kampus, namun efeknya akan sangat luas, hingga ke seluruh dunia,” paparnya lebih lanjut.
Di era teknologi komunikasi, penggunaan media virtual menjadi garda depan untuk mengenalkan institusi pada publik secara luas. Pameran virtual yang diselenggarakan menggunakan media Instagram sebagai ruang untuk mengenalkan karya koleksi seni rupa ISI Yogyakarta. “Hal ini menjadi satu fungsi kegiatan humas untuk mempresentasikan diri pada publik terlebih dalam kondisi pandemi saat ini. Teori impression management oleh Goffman menarik untuk diimplementasikan. Impression manajemen menjelaskan bahwa dalam interaksi sosial setiap individu berupaya menampilkan gambaran dirinya atau konsep dirinya kepada orang lain (Goffman, 1974:105). Ketika Humas berinteraksi atau berkomunikasi melalui kegiatan presentasi baik itu pameran, roadshow, atau pelatihan dengan menggunakan media, maka disitulah Humas melakukan ‘peruntukan’ pada stakeholders. Pameran virtual yang digelar ini dipakai sebagai presentasi diri kampus ISI Yogyakarta yang dikenal sebagai kampus pencipta seniman,” ujar Mikke Susanto.
Dalam pameran diunggah, disajikan, dipamerkan sejumlah 26 karya seni, berupa patung, relief alumunium, dan mural. Patung dan mural menempati posisi paling banyak di areal kampus. Patung tertua yang dipamerkan adalah bertajuk “Para Dewi” yang dimiliki kampus saat masih bernama ASRI Yogyakarta, tahun 1950-an. Disusul patung RJ. Katamsi dan Sutardjo yang dikerjakan pada 1977. Patung figur RJ. Katamsi karya Sarpomo menjadi ikon kampus ISI Yogyakarta saat ini. Sedangkan patung termuda yang dikoleksi dibuat pada 2019. Sejumlah mural yang ada di kampus saat ini diproduksi pada dekade kedua 2000an. Satu-satunya relief yang disajikan dan dikoleksi kampus adalah karya Entang Wiharso yang dibuat pada 2010.
Dipaparkan, hal menarik lainnya adalah bahwa sebagian besar patung-patung itu merupakan hasil hibah dari para alumni, kecuali patung kaligrafi Nun karya Ismanto. Sebagian diantaranya pernah dipamerkan sebelum menjadi koleksi kampus. Sejumlah patung tersebut tercatat pernah disajikan pada sejumlah pameran, diantaranya patung RJ. Katamsi pernah dipakai sebagai elemen pameran “Selamat Berlomba Meraih Gelar” oleh Redha Sorana dan Slamet Riyanto, November 1977 (karya Sarpomo), lalu ada pula pameran di Benteng Vredeburg 1977 (karya Sutarjo), pameran “Post-Calligraphy” 2007 (karya Ismanto), Pameran “Mencatat Batu” 2011 (Komroden Haro), Pameran “Bersebelahan” 2019 (Kelompok IU, Kelompok Semoet, Kelompok Api Kata Bukit Menoreh), dan ada juga hibah pasca pameran tugas akhir mahasiswa 2013 (Andri Panjoel). Ada 2 patung khusus yang dihibahkan atas usulan dan patronasi Rektor ISI Yogyakarta (2006-2010) Prof. Drs. Soeprapto Soedjono, Ph.D. yakni patung Edhi Sunarso (patronasi bersama pengusaha John Mamesah) dan karya Ardianto. “Patung-patung koleksi kampus ternyata memiliki kisah yang luar biasa,” aku Mikke Susanto.
Mikke berpendapat, pada zaman sekarang, lembaga pendidikan tinggi seni seperti ISI Yogyakarta sudah selayaknya berdimensi bukan saja semata sebagai lembaga pendidikan. Di dalamnya juga terdapat modal yang baik untuk berperan sebagaimana layaknya museum. Pada saat ini museum selain dianggap sebagai ruang penyimpanan benda-benda kuno, ia juga diasosiasikan berdasarkan fungsi-fugnsi lainnya, seperti tujuan darmawisata atau pariwisata, wahana edukasi, da nada kalanya sebagai ikon atau simbol dari sebuah wilayah (Marsanto, 2008: 1-2, 2009). Dengan bermodalkan sejumlah benda-benda koleksi yang berusia cukup tua, maka seyogyanya kampus ISI Yogyakarta dapat menjadi museum seni yang menarik bagi publik, baik sebagai museum kehidupan dan keindahan..
Pameran Karya Seni Rupa Luar Ruang koleksi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta yang digelar via akun instagram @ tks_isiyk, dengan desain publikasi oleh Syafina Zahra (mahasiswi Prodi Tata Kelola Seni) dan narahubung Adya di nomor +62 851 57708608, merupakan bagian dari skema Penelitian Terapan Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta 2020. Mikke Susanto menutup penjelasannya dengan mengucapkan, “Selamat menikmati indahnya karya-karya bernilai tinggi di Taman Seni ISI Yogyakarta. Selamat mengapresiasi!”. (Feature Impessa.id by Mikke-Antok Wesman)