Feature

Konggres Kebudayaan Desa Secara Online Dari Kampung Mataraman Yogyakarta, Menepis Anggapan Orang Desa Itu Terbelakang

Konggres Kebudayaan Desa Secara Online Dari Kampung Mataraman Yogyakarta, Menepis Anggapan Orang Desa Itu Terbelakang

Konggres Kebudayaan Desa Secara Online Dari Kampung Mataraman Yogyakarta, Menepis Anggapan Orang Desa Itu Terbelakang

Impessa.id, Yogyakarta: Stereotype disebagian masyarakat urban yang memandang bahwa orang desa itu identik dengan mereka yang terbelakang, tak berpendidikan, tertepiskan dengan penyelenggaraan Konggres Kebudayaan Desa -KKD via OnLine yang digelar dari Kampung Mataraman Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta.  

Ryan Sugiarto, Ketua KKD ketika dikonfirmasi Impessa.id, Kamis (9/7/2020) menuturkan bahwa KKD digelar untuk merespon Covid-19, “Ide awalnya dari sisi perencanaan RPJMDes -Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, yang disusun sebelum Covid-19 pasti batal karena semuanya kemudian dari sisi implementasinya jadi tidak berlaku, maka kemudian kami susun dari Panggungharjo untuk merevisi RPJMDes, melalui serangkaian diskusi dengan 20 tema besar,” ujar Ryan.

KKD juga merespon terminologi New Normal yang dikeluarkan oleh Negara, yang pelaksanaannya focus ke Cuci Tangan, Pakai Masker, Berjarak. “Seharusnya New Normal tidak hanya disikapi dengan itu, karena Covid-19 telah mendekonstruksi hampir seluruh tatanan masyarakat, baik disisi Pendidikan, misalnya Gedung-gedung sekolah sudah tidak ada isinya sekarang, di kampus mahasiswa sudah tidak masuk kampus, semua dilakukan lewat jejaring online, kemudian rumah ibadah sepi, relasi-relasi semua juga begitu, orang yang dalam kehidupan sehari-hari sering berkumpul kini kongkow, nongkrong bareng-bareng dengan Covid sudah gak mungkin lagi dilakukan, artinya ada pergeseran yang luar biasa pasca Covid,” papar Ryan lebih lanjut.

Menurut Ryan, datangnya Covid-19 menciptakan pergeseran yang luar biasa, sehingga perlu dirumuskan strategi-strategi atau siasat-siasat yang memungkinkan bahwa tatanan baru itu bukan hanya soal Cuci Tangan, bukan hanya soal Pakai Masker, bukan hanya soal Berjarak, tapi harus dirumuskan betul. “Kami berpikir ini peluang yang bagus untuk kemudian meletakkan kembali kebudayaan dengan perspektif yang luas untuk menata ulang sistem-sistem kelembagaan, menata ulang pola relasi, misalnya berangkat dari bawah, kenapa anak-anak sekolah tetapi kemudian nilai sosialnya tidak terbangun? Anak sekolah tapi klithih, semisal. Anak sekolah tapi sama orangtua-nya berani, berarti selama ini ada yang salah soal sistem pendidikan kita,” tuturnya.

Rangkaian 20 tema yang kemudian di diskusikan, di olah untuk menghasilkan rumusan nilai baru yang dikembangkan di desa, dengan kata lain mendorong tata-kelola desa secara baik. Maka Konggres Kebudayaan Desa untuk menata ulang kelembagaan-kelembagaan, menata ulang pola relasi, yang harapannya bisa mendorong tata nilai Indonesia yang lebih baik.

Webinar dengan sejumlah seri tersebut mengangkat tema, mulai dari mendefinisikan apakah New Normal itu, kemudian isu Ekonomi Berkeadilan, Pendidikan yang Membebaskan, isu Perempuan dan Anak, Isu Hukum dan Politik Desa, Isu Tata Ruang dan Pemukiman, Dataklasi dan Keluarga, isu Kewargaan, Membangun Relasi ke Masyarakat atau Warganegara dan Negara. Contohnya dalam soal kewargaan, seberapa sering warga ber-relasi dengan negara, selain urusan-urusan KTP, Akte Kelahiran, Pernikahan, Kematian, itu yang membuat negara dalam hal ini Pemerintah Desa berjarak dengan warganya, padahal seharusnya kalau ada warga desa yang tidak bisa sekolah itu menjadi urusan negara, kalau ada Ibu hamil yang kemudian tidak mempunyai biaya untuk proses persalinan, itu menjadi urusan negara, kalau ada orang yang bahkan tidak bisa makan samasekali, itu menjadi urusan negara.

Dikatakan, membangun pola relasi warganegara dan desa itu perlu dirumuskan ulang bahwa relasinya bukan hanya soal administratif saja tetapi hal-hal yang harus diurusi negara dalam ruang yang paling kecil yaiitu Desa, ya harus diambil. “Praktik itu sudah dilakukan di Desa Panggungharjo-Bantul, dan gambaran kami kalau dari serangkaian 20 tema ini kemudian dirumuskan dalam suatu rekomendasi ke desa-desa di seluruh Indonesia. Kami menyusun semacam Buku Putih Panduan bagi seluruh desa-desa di Indonesia, untuk merevisi RPJMDes mereka masing-masing, sekaligus membangun tata kelola kemandirian Desa,” aku Ryan

Undang Undang Nomor 6 tentang Undang Undang Desa mengamanatkan hal Kewenangan Desa, dan distribusi soal pendanaan, artinya dengan dua kewenangan itu sebenarnya Desa bisa mandiri. Bisa mengelola tata pemerintahnya sendiri, mengelola desanya sendiri. Dan itu menjadi kaki yang kuat. Bahwa kemudian ada desa yang bisa mengimplementasikan dan ada yang tidak, di lihat dari sistem politiknya serta cara memimpinnya, gagasan-gagasan yang di elaborasi di KKD 2020.

Seluruh diskusi Webinar selesai pada 10 Juli 2020, kemudian pada 13-16 Juli 2020 berlangsung Festival Kebudayaan Desa-Desa Nusantara, sebagai ruang perayaan bagi desa-desa adat di seluruh Indonesia. Webinar tanggal 1-10 Juli berbasis tema, Webinar 13-16 Juli tema-nya hanya satu dilihat dari masing-masing perspektif desa adat, yaitu “Arah Tatanan Indonesia Baru Dari Perspektif Desa dan Masyarakat Adat di Indonesia”. Masyarakat Baduy punya perspektif berbeda dengan masyarakat Batak, berbeda dengan masyarakat Dayak dan seterusnya. Itu yang di diskusikan, di rumuskan hasil-hasilnya yang kemudian didorong ke tata-kelola kelembagaan desa. Dokumen Utamanya nanti adalah Buku Putih yang kita sebut sebagai Panduan Penyusunan RPJMDes.

“Panduan Penyusunan RPJMDes tersebut untuk menunjukkan tata-kelola politik dan birokrasi di Desa. Praktik yang sudah dilakukan di Desa Panggungharjo- Bantul, selama dua periode terakhir nir politik uang. Ada kontrak sosial politik antara calon-calon dengan wakil desa, kalau ada yang nyalon, ada yang ngasih duit, sebagai Uang Politik, semuanya batal. Ini yang ingin diperkenalkan ke desa-desa lain di seluruh Indonesia sehingga secara tata-kelola kemandirian desa harus dimulai dari bawah, bukan dari atas,” jelas Ryan.

KKD dari Desa Panggungharjo Bantul, Yogyakarta, menggunakan Webinar Zoom yang setiap satu sesi nya memiiki kapasitas 1000 orang. Pesertanya rata-rata 400-500. KKD itu juga disiarkan langsung melalui YouTube, melalui FaceBook, sehingga dalam sehari viewer-nya mencapai 4-5-ribu orang. “Ini menjadi gerakan bersama yang titik tekannya berangkat dari desa. Meskipun didukung KPK, Kemendes, Kemendikbud, namun secara konsep dan pelaksanaannya, murni dari desa. Konseptualnya, praktisnya, pelaksanaannya bahkan sampai hal yang sangat detail, penyiapan internet semuanya dimenej desa,” ulasnya.

KKD melibatkan 100 narasumber dari berbagai profesi dan berbagai perspektif mulai dari Aceh sampai Papua, 20 moderator, representasi gender dan inklusi juga terlibat, termasuk birokrasi dan akademisi, para  Champion di desa juga kita libatkan didalam narsum, termasuk difabel dan anak-anak yang mengalami diskriminasi, yang dirumuskan oleh tim tersendiri.

“Target kami, tanggal 15 Agustus 2020 dokumen sudah jadi sebagai amanah rakyat dan menjadi mandat untuk Presiden, istilahnya dari desa memberi dokumen, kemudian kita menyusun deklarasi Arah Indonesia Baru, kami sampaikan ke Presiden dan minta tolong Presiden untuk mendeklarasikannya. Ini bagian dari Membangun Indonesia dari Desa. Secara jadwal kami menyesuaikan aktivitas Presiden, gambaran kami mungkin tanggal 10 atau 13-an Agustus 2020 dokumennya telah siap,” ungkap Ketua KKD Ryan Sugiarto.

Diluar prediksi, peserta Webinar Zoom dari Aceh hingga Papua, memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang beragam di setiap sesi-nya. “Hal ini bagi kami menggembirakan karena memang konggres ini kami posisikan menjadi bagian dari perayaan temen-temen di desa, diluar Jawa, diluar Jogja,” aku Ryan.

Setiap harinya Webinar berlangsung dalam dua sesi masing-masing ber-durasi 3 jam, sesi pertama pukul 9-13 WIB dan sesi kedua pukul 13-16 WIB. Di setiap sesi menghadirkan narasumber 4 sampai 5 orang. Untuk Festival ada tiga kegiatan, pertama Produksi Video yang menggambarkan soal pertama Landscape, yang kedua Gagasan atau Pemikiran dari tiap-tiap desa adat, yang wujudnya ada sesi wawancara langsung dengan tokoh-tokoh adat, itu menjadi satu video sendiri, kemudian Talkshow ber-durasi dua jam, selama enpat hari dari tanggal 13 sampai 16 Juli, satu sesi membahas desa adat. Ada sesi yang menggabungkan beberapa desa adat menjadi satu. Tema Besar-nya adalah “Arah Tatanan Indonesia Baru Perpsektifnya Desa-Desa Adat”. Desa-desa adat itu menginginkan Indonesia Baru itu seperti apa, seluruh tema di kerucutkan, di rumuskan dalam satu dokumen berformat manual dan digital, dicetak namun juga dapat diakses via website.

Puncak acara pada malam 16 Juli 2020, di Kampung Mataraman, tersaji Suluk Kebudayaan secara Offline namun tetap mengacu pada Protokol Pencegahan Penyebaran Covid-19, menampilkan monolog Wani Dharmawan, Joko Pinurbo dan Irfan Afifi untuk pidato Suluk Kebudayaan. Penutupan KKD menurut rencana dilakukan oleh Menteri Pedesaan.

Jogja menjadi pioneer menggelar Konggres Kebudayaan Desa via Online, yang pertama di Indonesia bahkan yang pertama di dunia. Gerakan Indonesia Baru yang titik tekannya dari desa sebagai reprsentasi gagasan yang dikanalkan dalam riset jajak pendapat via Google Form, mengenai kondisi warga desa ditengah Covid-19 dan harapan warga desa setelah Covid-19, sejak tanggal 1 Juni 2020 hingga 31 Juli 2020, melalui jaringan ke 150-ribu warga desa di seluruh Indonesia.

“Ini menjadi poin penting bagi teman-teman yang menyusun panduan RPJMDes untuk meletakkan posisi masyarakat desa, kondisinya hari ini seperti apa dan apa yang mereka inginkan,” jelas Ryan. “Dalam penyusunan RPJMDes itu pula kami sedang mempropos teman-teman yang usianya 6-7 tahun, mengacu tembakan Indonesia Emas 2045, mereka itulah generasi yang sekarang masih anak-anak. Jadi dokumen ini, anak-anak itulah yang kemudian mengimplementasikannya di era Indonesia Emas tersebut,” imbuhnya.

“Pendapat anak-anak itu kami absorb, kami tanya, kamu pengin jadi apa besuk itu? Karena di posisi 2045 mereka itu berada di posisi yang penting, saya kira pendapat mereka itu perlu kita wakili. Dari sisi perspektif kami merangkum keragaman, merangkum kebhineka-an,” tukas Ryan.

Sementara itu, Abe Widiyanta selaku Steering Committee KKD kepada Impessa.id mengatakan tantangan Webinar KKD yang sebagian besar pesertanya adalah simpul-simpul yang mempunyai jaringan kuat ke kelompok-kelompok dibawahnya sehingga menjadikannya lebih efisien dan efektif dalam meraih audience yang banyak. “Tantangan terberat yakni saat melakukan seleksi narasumber yang berkompeten, serta persiapan festival yang memanfaatkan jejaring 90-an panitia, sesuai bidang masing-masing, ibaratnya orang gemuk harus berlari cepat, demi mengejar waktu yang sangat pendek,” akunya.

Output dari Konggres Kebudayaan Desa berupa Hasil Riset, Dokumen Panduan Penyusunan RPJMDes untuk desa-desa di seluruh Indonesia, dan 22 buku terdiri dari 20 Buku Kompilasi Makalah dari narasumber dan Callpaper dari berbagai kalangan, Satu Tema untuk Satu Buku, plus Buku Bunga Rampai Festival “Strategi Kemajuan Kebudayaan Desa-Desa di Nusantara, serta Buku Riset Panduan Penyusunan RPJMDes, yang diterbitkan secara bersamaan pada 13 Juli 2020.

Abe Widiyanta yang berasal dari salah satu desa di Kabupaten Gunung Kidul mengkritisi peserta yang bertanya dengan nada ‘nyinyir’ tentang Webinar KKD membahas desa tapi pembicaranya akademisi, intelektual, bukan orang desa. “Maunya si-pengritik, orang desa itu kudu bodoh, tak berpendidikan, lha saya ini orang desa tapi disekolahkan hingga bisa sampai ke perguruan tinggi, apa lantas orang desa itu gak boleh pinter? Apakah orang yang telah ber-ilmu lantas tidak merepresentasikan orang desa?” Sergahnya heran. Abe berhak menepis pendapat keliru mengenai orang desa yang masih mendekam dibenak orang-orang kota, pengalamannya sebagai anak desa yang tumbuh di kawasan perbukitan kapur Gunung Kidul yang dahulu di’cap’ sebagai daerah gersang, namun kini menjadi Dosen Sosiologi Fisipol UGM, telah menghentakkan stigma ‘rendah’ orang desa.

Melalui KKD, Ryan Sugiarto yang adalah Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dan Abe Widiyanta, keduanya menegaskan bahwa Desa itu masa depan Indonesia, bahkan masa depan dunia, karena di desa itu air bersih masih ada, udara bersih masih ada, makanan sehat ada. Desa mempunyai konsep Karangkitri, bahwa makanan yang disantap sehari-hari itu sumbernya dari Desa. (Feature Impessa.id by Antok Wesman)