Feature

Pameran KOMIK Perempuan DAYA DARA Di Bentara Budaya Yogyakarta

Pameran KOMIK Perempuan DAYA DARA Di Bentara Budaya Yogyakarta

Pameran KOMIK Perempuan DAYA DARA Di Bentara Budaya Yogyakarta

Impessa.id, Yogyakarta: Sejumlah 16 komikus perempuan sukses menggelar karya-karya mereka dalam Pameran Komik bertajuk DAYA DARA di Bentara Budaya Yogyakarta, 25-31 Juli 2024. Ke-16 komikus Perempuan itu masing-masing, Wied Sendjayani, Apitnobaka, Dhean De Nauli, Diesta NS, Ella Elviana, Hai Rembulan, Jasmine H. Surkattyy, Jes dan Cin Wibowo, Kathrinna Rakhmavika, Laras Putri, Msekarayu, Problema Nona, Taiga Bluet, Tsalitsa Kamila, Ula Zuhra, Winchestermeg, dan Yupit.

Tim Kurator Bentara Budaya menuliskan bahwa Komik menyalurkan pesan dan gagasan melalui kombinasi gambar dan simbol yang ditata secara sekuensial. Dengan kemampuan medialitasnya yang khas namun luwes; pada kertas maupun layar, komik dapat dieksplorasi oleh siapapun untuk membicarakan topik yang beragam dan ditujukan pula untuk jenis pembaca yang beragam. Akan tetapi, komik di Indonesia belum lepas dari anggapan sebagai; media bacaan hiburan untuk menarik minat karena memuat banyak gambar dengan sedikit teks, bermuatan ringan, mengangkat cerita humor, dan ditujukan untuk pembaca usia muda.

Sejumlah anggapan tersebut dalam konteks wacana merupakan formasi diskursif yang membentuk wacana komik Indonesia secara hegemonic, alias turut pula membentuk pengetahuan, definisi, ciri, dan hal lain di seputar komik yang diketahui bersama; menguntungkan pihak tertentu, mensyaratkan hal tertentu, yang sekaligus menyingkirkan dan menolak hal lainnya. Pemahaman diskursif tersebut “mendisiplinkan” komik hanya pada pengertian dan bentuk-bentuk tertentu yang membatasi, yang bisa ditemukan setidaknya ketika memandang dua hal berikut ini.

Hal pertama. Komik yang kaya gambar sebagai bentuk narasi visual, dipisahkan dengan puisi, prosa dan karya lain yang telah ditahbiskan sebagai sastra. Ketika disebut sebagai sastra gambar, komik seolah berusaha menyusup mencari-cari panggung dan pengakuan. Kesan ini muncul hanya karena pemahaman sastra yang terbatasi pada “ungkapan bahasa”, yang hanya terpaku pada bahasa lisan dan tulisan, dan menyingkirkan adanya bahasa gambar. Dengan atau tanpa adanya keinginan untuk menjadi sastrawi, komik pada dasarnya telah memenuhi kriteria sastra; dalam pengertian sastra sebagai ‘ungkapan ide kreatif manusia yang dituangkan dalam media bahasa’.

Hal kedua. Komik sebagai produk budaya populer dibatasi pilihan formatnya, genre ceritanya, dan gaya visualnya. Hal ini membuat sejumlah karya semisal; komik fiksi yang ditujukan untuk pembaca yang memiliki pemikiran lebih dewasa, komik reportase-jurnalisme yang mengungkap sisi gelap dari gegap gempita zaman, ataupun komik yang mengangkat opini dan perasaan pribadi, dengan beragam muatan dan gaya ungkap visual, dianggap sesuatu yang tidak wajar. Termasuk di dalamnya adalah pilihanpilihan yang kaku dan mengobjektifikasi, tentang bagaimana perempuan (bisa, boleh, dan biasanya) direpresentasikan dalam komik (Indonesia).

Sejak perempuan hanya diposisikan sebagai objek dalam komik hingga kini sebagai pembawa suara, mereka menghadapi stigmatisasi dan kesulitan akses untuk berkarya. Perempuan sebagai seorang anak (dara) dari orang tuanya selalu mencari jalan untuk mengekspresikan diri dan melampaui batas-batas yang ditetapkan masyarakat. Pameran Komik “Daya Dara” menampilkan karya mayoritas perempuan komikus di Indonesia, menunjukkan bagaimana mereka berdaya melalui komik yang mengangkat isu diri, gender, lingkungan, identitas, ideologi, politik dan lainnya.

Dalam pada itu, Terra Bajraghosa melalui tulisan kuratorial pameran menjelaskan makna tema “Daya Dara” tersebut. Daya dimaksudkan untuk menggambarkan konsep kekuatan, kemampuan, atau pengaruh yang dimiliki oleh individu (dalam konteks ini komikus perempuan) dalam menghadapi sebuah fenomena mengenai isu-isu perempuan yang masih bergulir hingga saat ini. Dara dalam Bahasa Indonesia sering diartikan dengan gadis muda yang belum menikah, dalam hal ini tidak serta merta dimaksudkan demikian, namun mengacu pada semangat jiwa perempuan yang selalu muda dalam menciptakan karya-karya.

Pada pameran “Daya Dara” dipamerkan 17 komikus perempuan dengan usia, latar belakang, ketertarikan, dan tema-tema kekaryaan yang beragam. Pameran Komik “Daya Dara” mempresentasikan karya Wied Sendjayani. Nama Wied Sendjayani lebih banyak dicatat sebagai penari. Namun nyatanya Wied adalah perupa dan komikus perempuan dengan tema-tema roman pada tahun 1970-an, pada masa keemasan komik Indonesia. Karyanya yang berjudul “Djalan Masih Panjang” dan “Ranjang Pengantin Kedua” adalah beberapa karyanya yang representatif dalam menggambarkan bagaimana perempuan pernah dan bahkan hingga saat ini masih bergelut dengan perjuangan seputar akses terhadap cita-cita hingga kemerdekaan dari stereotip atas peran dan tubuh. Membuka halaman-halaman komik Wied membawa saya pada semangat menggambar mula-mula. Terasa bagaimana teknik menggambar secara tradisional masih menjadi senjata zaman. Kesabaran dan ketekunan dalam mengisi garis dengan arsiran adalah gambaran dari ekspresi yang diolah, disadari, dan dirasakan sebelum disampaikan. Barangkali dengan gawai-gawai di genggaman, menyampaikan pesan dengan perasaan inilah yang justru digerus zaman.

Setelah melihat karya Ula Zuhra dengan judul “Flesh Prison”, Dhean De Nauli “BLAUW”, dan Hai Rembulan dengan karyanya “Spiralling” ternyata praktik menggambar manual tidak sepenuhnya tergerus zaman. Laku mengisi arsiran, menunggu cat atau tinta siap untuk ditimpa, menggaris satu demi satu, membuat titik, dan seterusnya disertai semangat menggunakan peralatan-peralatan sederhana yang dekan dan ada masih dijalani oleh komikus-komikus perempuan ini untuk mengekspresikan sekaligus menyampaikan tentang keresahan domestik, hak, dan pengetahuan atas tubuh. Beberapa komikus lainnya yang sedang berpameran, mungkin tidak sepenuhnya menggunakan teknik menggambar tradisional ada yang dicampur dengan teknik digital menggunakan piranti-piranti lunak yang sedang berkembang. Ada pula yang sepenuhnya digital. Hal ini dapat dinilai sebagai pertanda baik terhadap akses yang semakin setara terhadap teknologi informasi dan komunikasi bagi perempuan. Perkembangan ini juga berimplikasi pada semakin terbukanya akses terhadap industri komik bagi komikus perempuan.

“Kita bisa melihat contohnya pada karya Jasmine H. Surkatty, komiknya berisi ide-ide absurd-nya dengan nama Komik Gajelas terinspirasi tingkah laku kocak kawan-kawannya. Komik ini dipresentasikan dalam bentuk komik strip yang diunggah di media sosial Instagram. Sekarang (komik) Gajelas sudah berevolusi menjadi sebuah produk pengetahuan yang telah diakui di kancah nasional karena telah menerbitkan beberapa buku best-seller dan telah bekerjasama dengan berbagai jenama yang populer di berbagai bidang,” ungkap Terra.

Komikus perempuan juga berkesempatan untuk mengukuhkan sebuah kondisi ‘ramalan’ Marshall McLuhan yakni kampung global yang menganalogikan dunia sebagai desa yang sangat besar sebagai dampak dari perkembangan teknologi komunikasi. Misalnya, pada karya Jes dan Cin Wibowo serta Winchestermeg yang telah menerbitkan karya komiknya hingga internasional. Keduanya membawa pesan multikultural yang ditampilkan dengan berbagai simbol budaya masyarakat Indonesia. Jes dan Cin Wibowo dengan simbol budaya yang lebih tradisional, seperti: gamelan, kebaya, gunungan, dsb dan Winchestermeg dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih menyehari, seperti: silaturahmi saat lebaran Idul Fitri dan pergi terburu-buru ke sekolah naik sepeda motor.

Dikatakan, selain menelisik melalui simbol-simbol budaya, ada juga karya komik yang menceritakan Indonesia dengan lebih historis yaitu Ella Elviana dalam komik “Mimpi Museum”. Jika kita menyelami lebih dalam karya-karya mereka, banyak sekali tanda yang bisa dibaca dan dimaknai kembali untuk merefleksikan identitas kita sebagai warga dunia. Bagaimanapun komikus perempuan bercita-cita untuk dapat berkontribusi secara global, itu tidak berarti menghapuskan keinginannya untuk selalu interogatif terhadap dirinya sendiri dan sekitarnya.

Karya Taiga Bluet yang berjudul “Penyihir Pegagan” adalah salah satu hasil interogasi yang menarik dari pencariannya akan lingkungan alam di sekitar tempat tinggalnya yang mulai hilang. Juga Yupit dengan upayanya memeluk pergulatannya sendiri menjadi orang dewasa. Msekarayu melakukan upaya berbeda dalam komik berbasis riset yang dilakukannya khusus untuk pameran ini. Ia tidak hanya menginterogasi dirinya sendiri, melainkan juga melakukan sebuah survey sederhana pada kelompok perempuan penggemar kopi sebelum membuat karyanya. Dari sanalah ia membuat karya komik yang komunikatif dari objek yang sederhana, yaitu kopi. Interogasi-interogasi ke dalam diri itulah yang sejatinya adalah senjata perempuan untuk senantiasa membebaskan pikirannya pada kondisi apapun sebab seringkali pada proses itu perempuan akan bertemu dengan dirinya dan kebebasan berpikirnya tersebut.

Karya Diesta NS, Tsalitsa Kamila, dan Laras Putri secara teknis menggambar dapat dibilang sangat paripurna. Namun yang menjadikannya lebih menarik lagi adalah bagaimana pertemuan dirinya dan kebebasan berpikirnya. Diesta dengan alam metafisik dan romansa, Tsalitsa dengan cerita petualangannya, dan Laras Putri dengan intensinya membuat komik dengan genre slice of life atau kesehariannya tentang romansa dan kehidupan anak band. Kebebasan berpikir inilah yang menambahkan optimisme pada komikus perempuan untuk tetap tangguh dalam keterbatasan apapun. Bagaimana perempuan meliberasi pikirannya ini akhirnya melahirkan semangat untuk berdiri bagi perempuan, gender lain, dan masyarakat yang terpinggirkan.

Karya Apitnobaka berjudul “Tomboi”, karya Problema Nona “Suwit Suwit Lo Kira Sweet”, dan Kathrinna Rakhmavika “Hidup Sebaik-Baiknya” yang diikutsertakan dalam pameran ini merupakan beberapa representasi dari semangat tersebut. Apitnobaka mencoba meretas stigma gender yang melekat pada perempuan dan laki-laki dengan cara yang sederhana dan mudah dicerna.

Problema Nona mengungkapkan tentang ancaman kekerasan seksual di ruang publik dengan visual clear line yang sangat mudah terbaca. Kathrinna Rakhmavika berupaya menyampaikan pesan untuk tetap menjadi manusia yang utuh dan berjuang di tengah ketidakadilan dalam ruang-ruang hidup. Semoga pembebasan pikiran ini senantiasa memulihkan.

“Jika di kepala kita perempuan masih sekadar memikirkan dan membuat karya seputar romansa dan gundah gulana, tentu itu tidak benar. Nyatanya, komikus perempuan bisa berbicara tentang apa yang penting dan menyejahterakan batin dan fisik dengan kuas, tinta, cat, dan gawainya. Saya membayangkan disiplin mensketsa, membuat jurnal ide, membuat gambar-gambar, menyatukan visual, membuat panel, mengisi balon kata, dan seterusnya hingga mengarsipkan karya adalah laku merawat yang dilakukan oleh komikus Perempuan,” jelas Terra Bajraghosa.

Menurut Terra, dalam Pameran Komik “Daya Dara” ini, komikus perempuan turut merawat jiwa dan tubuh, identitas, lingkungan sekitarnya, bahkan memperjuangkan rekonsiliasi sebagai warga dunia dengan cara-caranya. Kiranya, komikus perempuan senantiasa berdaya bagi diri dan sekitarnya melalui karyanya. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)