Feature

Lebaran Seni Rupa Yogyakarta Dimeriahkan Oleh Pameran MULTIPLICITIES Di The Ratan Kompleks Ringroad Selatan

Lebaran Seni Rupa Yogyakarta Dimeriahkan Oleh Pameran MULTIPLICITIES Di The Ratan Kompleks Ringroad Selatan

Lebaran Seni Rupa Yogyakarta Dimeriahkan Oleh Pameran MULTIPLICITIES Di The Ratan Kompleks Ringroad Selatan

Impessa.id, Yogyakarta: Ada yang menarik pada pameran seni rupa berjudul “Multiplicities” di Warehouse Art Project Kompleks the Ratan Jalan Ringroad Selatan Yogyakarta, pada tanggal 27 Juni hingga 4 Juli 2024, melibatkan 10 seniman masing-masing, A. Priyanto ‘Omplong’, Budi Ubrux, Dadah Subagja, Denakrom, Kekev R. Wangsadinata, Mirta Parahita, M. Arif Budiman, Ratih Alsaira, ‘Ruben’ Untung Budiono dan ‘Kenyung’ Suranto.

Nia Dinata dengan nama lengkap Nur Kurniati Aisyah Dewi, sutradara Indonesia yang film-filmnya berhasil mendapat respon bagus dari masyarakat, diantaranya, film-film berjudul, “Berbagi Suami”, “Perempuan Punya Cerita”, “Arisan! 2”, “Ini Kisah Tiga Dara” dan “A World Without, ketika ditemui Impessa.id, disela-sela pameran “Multiplicities”, Nia mengungkapkan kegembiraan dirinya usai didaulat membuka pameran tersebut, Kamis (27/6/24).

“Betul sekali, memang saya merasa nyaman berada di Jogja, karena anak bontot (bungsu) saya kuliah di UGM, dah mau klaar sih, tapi saya sering bolak-balik sejak dia di Jogja, dari dulu sih sebenernya saya senang syuting di Jogja, semua yang ada di Jogja selalu saya resapi dan betah. Begitu diminta membuka pameran “Multiplicities” disini, saya baca semua kuratorialnya, sangat menarik dengan semua karya yang berbeda, dari goresannya, dari gagasannya, dari auranya, dari warna-warninya, beda-beda banget karyanya, tapi bisa berada dalam satu ruang yang satu atap dan bisa berdampingan, kayaknya seru banget kalau di Jogja, mau berbeda-beda orang bisa ngomong apa saja, tapi gak dibawa ke hati, kalau di Jakarta, orang langsung panasan bawaannya,” akunya jujur.

“Tempat ini juga sangat luar biasa, sederhana tetapi bisa menaungi  seniman-seniman muda yang memang terus bermunculan di Jogja, dan inilah yang sebenarnya agak kurang di Jakarta, jadi saya merasa nyaman dan merasa betah dan merasa selalu terinspirasi sama Jogja. Semoga pameran ini bisa membuat orang bahagia, bisa menerima perbedaan, bisa berdampingan tanpa harus merubah otentisitas masing-masing individu,” imbuh Nia Dinata.

Ketika ditanya kapan gelar pameran di Jogja? Nia Dinata merespon, “Sepertinya ada sih rencana, tapi bikin instalasi, karena aku tidak bisa melukis. Tapi aku ada ide instgalasi, mungkin berdiskusi dulu dengan beberapa seniman Jogja mau minta masukannya,” ujarnya.

Sementara itu, sahabat Nia Dinata yakni Mirta Parahita yang terlibat berpamerankepada Impessa.id menuturkan, “Sebelumnya saya kuliah di Iinstitut Kesenian Jakarta -IKJ Kriya Keramik, tetapi kalau di Jakarta kita tertimbun dengan pekerjaan industri, saya sekarang lebih ke film, tapi lebih banyak ke fasilitasi dan produksi. Sekarang pindah ke Jogja, kembali ke asal ingin balik lagi ke keramik, jadi bikin karya ini. Karya ini dari keramik yang jumlahnya 200 ikan ditengah pusaran, kalau sebagai makhluk sosial kita hidup dimanapun kita ada di berbagai pusaran kehidupan, tapi kita tetap harus punya prinsip yang melawan arus, makanya judul karyanya “Different Ways”. Pilihan ikan karena ikan kalau bikin pusaran pun dia juga punya koreografinya sendiri, Kesan sayaa berpameran disaat Jogja sedang merayakan Lebaran Seni Rupa, saya senang sekali bisa ikut terlibat menjadi masyarakat Jogja,” aku Mirta dengan mata berbinar-binar.

Seniman Mirta Parahita melalui karya instalasi keramik berjudul “Difference Ways” (2023) mengungkapkan pentingnya kekuatan mental dalam menghadapi gaya hidup ‘multiplicities’ dewasa ini. Karya Mirta berwujud ikan-ikan kecil berjumlah 200 buah, digantung dengan menggunakan tali senar ke ram besi, bergerak searah jarum jam disertai sebuah lampu sorot di tengah-tengah lingkaran guna menambah dimensi kedalaman maknanya. Suara ombak dari speaker yang terdengar sekitar satu meter di sekitar karya menambah ‘ambience’ pusaran ikan.

Sebuah patung keramik berwujud seekor ikan ‘merlin’ yang besar dengan posisi melawan arus ikan-ikan lainnya, dimaksudkan sebagai gambaran kemampuan individu yang memiliki toleransi tinggi dan adaptif mengikuti arus industri tetapi tidak terjebak seperti yang lainnya. Karya instalasi ini membawa penonton pada keriuhan dunia industri dan semangat melawan dominasi pemikiran ‘mainstream’.

Aa Nurjaman, penulis pameran “Multiplicities” menyebutkan bahwa gaya hidup ‘multiplicities’ di negeri kita justru terjadi secara mendasar dengan terjadinya ‘disrupsi’ masyarakat yang pada awalnya berkultur agraris, kemudian mengarah pada pola hidup industrial yang sekarang dibombardir oleh informasi digital yang melahirkan realitas virtual dan actual yang mampu merubah cara pandang (shift perception) masyarakat terhadap proses kehidupan, sehingga terbentuk pola hidup individualis yang kompetitif.

Akibatnya setiap individu dalam hubungan mereka menjadi bersaing dalam segala lini kehidupan. Padahal suatu persaingan tidak akan bisa bersikap adil, karena selalu ada pihak yang kalah dan menang. Semakin profesional persaingan, semakin luas medan kesenjangan sosial, di mana orang-orang yang kalah biasanya disebut korban. Persaingan mendorong budaya ‘konsumerisme’ individu untuk terus memenuhi ‘hasrat’nya agar dapat dianggap sebagai manusia berkelas.

Konsep ‘multiplicities’ diangkat menjadi konsep pameran dimaksudkan guna menelaah perkembangan seni rupa kontemporer dewasa ini. Permainan ‘multiplicities’ merupakan sistem permainan simbol-silmbol kehidupan yang melahirkan beragam ‘mitos temporer’. Seni rupa terkini bisa disimulasikan sebagai aktivitas dari orang-orang kreatif (seniman) yang terjebak dalam pembentukan ‘mitos temporer’ yang dikendalikan oleh kaum kapital. Istilah ‘multiplicities’ diangkat sebagai konsep pameran ini dimaksudkan guna menganalisis permainan para kapital dalam membentuk ‘industri seni rupa’.

Seniman Kekev R Wangsadinata dalam pameran itu menampilkan karya drawing berjudul “Star Battle” (2024) yang mengetengahkan dua tokoh pemusik legendaris dunia. Keith Richards vs Steven Tyler sedang bermain catur. Kekev mengungkapkan bahwa kedua tokoh itu sudah menemukan dirinya yang kemudian dikenal sebagai selebritis kelas dunia. Namun melalui karya drawing, Kekev bermaksud menegaskan bahwa dunia selebritis adalah dunia persaingan paling kompetitif. Kekev yang bergelut di dunia film, paham betul bagaimana alam bawah sadar seseorang digali potensinya untuk bersaing demi memperoleh popularitas berkelas ‘bintang’.

Kemudian seniman Suranto Kenyung, memajang karya instalasi terakota berjudul “Taman Kota” (2024). Karyanya berupa bangunan-bangunan gedung terbuat dari susunan batu bata mini sejumlah lebih dari 200-ribu butir, berukuran lebar 12 milimeter x panjang 24 milimeter x tebal 5 milimeter, ciptaannya sendiri. Imitasi bangunan itu mengkritisi suatu pencitraan tentang istilah ‘cinta bumi Indonesia’ yang membangun lahan-lahan perkotaan yang merubah kawasan yang masih alami menjadi ‘kawasan wisata’.

Sedangkan seniman Dadah Subagja melalui karya lukisannya berjudul “Passion” (2024) mengkritisi identitas kaum perempuan yang dimanipulasi oleh media. Media dalam arus kultur global memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi untuk membentuk masyarakat sebagai penonton yang pasif lantaran daya kreasi dan imajinasi mereka sudah diprogramkan oleh media. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)