Feature

CARNAVAL Di Kota Menyisakan Sampah, ALIE GOPAL Mengkritisi Lewat Karya Seni

CARNAVAL Di Kota Menyisakan Sampah, ALIE GOPAL Mengkritisi Lewat Karya Seni

CARNAVAL Di Kota Menyisakan Sampah, ALIE GOPAL Mengkritisi Lewat Karya Seni

Impessa.id, Yogyakarta: Ada yang perlu untuk direnungkan dalam Pameran Tunggal seniman senior ALIE GOPAL pada 18-31 Mei 2024 di Studio Kalahan, Jalan Sidoarum Gamping No. 50, Patukan, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Pesan mendalam akan keberlangsungan sebuah CARNAVAL di suatu kota.

Dalam tulisan berjudul “Carnaval Di Kesunyian Kota Festival” oleh Alie Gopal, Oktober 2018, termaktub bahwa berbagai pawai carnaval yang dihelat di Yogyakarta, sejauh ini baru terhenti pada seremoni sesaat. Hampir-hampir tidak ada pesan yang tersisa dan tersampaikan dari carnaval yang terekam untuk beberapa saat begitu carnaval selsai, kecuali rasa capai dan sampah-sampah di berbagai sudut area carnaval.

Menurut Alie Gopal, selain kemeriahan, carnaval sebagai salah satu sudut rekaman wajah masyarakat dalam keseharian, yang disajikan pada panggung berjalan, belum mampu membangkitkan ingatan kolektif warga atas berbagai permasalahan yang dihadapinya serta solusinya.

“Memang selama ini pengerian tentang karnaval selalu dengan hingar-bingar, dan glamour lah sifatnya. Menurut saya bukanlah itu, karena dalam kehidupan kita sehari-hari itu sudah karnaval, bisa karnaval sendiri atau bersama dengan teman-teman, walaupun katakanlah kita tidak menggunakan kostum, itu sudah berarak-arak, boleh dianggap sebagai karnava”, ujar Alie Gopal kepada Impessa.id.

“Kenapa hening? Saya memandang dari sudut politik, dibeberapa Pemilu itu tidak ada lagi adanya hingar-bingar, tontonan arak-arak-an segala macam, tapi carnaval itu terjadi, silent, itu yang terjadi, tidak tampak, tetapi pas penghitungan suara, hal itu terlihat, ternyata karnaval itu ada, semua kubu pasti puny,” jelasnya.

“Lewat pameran Karnaval ini saya ingin menjelaskan kalau karnaval itu tidak hanya sebagai tontonan, tapi pada mindset kita sendiri, itu yang paling penting sebetulnya, jadi, kenapa di Kota Pariwisata ini, Pemeringah selalu membuat berbagai event tetapi tidak berpikir dampak setelah itu, masyarakat mendapat tontonan berapa lama sih? Habis itu sampah dimana-mana, bahkan bisa berhari-hari sampah itu masih ada. Pemerintah yang membuat acara tidak memberikan solusi atas sampah yang ditimbulkan setelah event berlangsung. Seharusnya memberi program yang mengedukasi,” ungkap Alie Gopal lebih lanjut.

PUJI QOMARIAH, S.Sos, MSi, Sosiolog Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Maret 2024 turut mengemukakan pendapatnya bahwa Pameran Karnaval Alie Gopal merupakan bagian dari edukasi untuk semua warga.

“Carnaval itu tidak sekedar yang hanya fisik hura-hura di jalan atau sesuatu hal yang melibatkan properti yang luar biasa yang itu banyak meninggalkan sampah. Karnaval seperti ini bener-bener mengedukasi bahwa karnaval itu ketika dalam kesunyian, tidak masalah, dan seperti ini pemanfaatan sampah misalnya, bisa digunakan seperti ini, untuk karya yang menciptakan nilai ekonomi, memiliki nilai seni yang lebih bagus lagi”, ujar Puji Qomariyah kepada Impessa.id.

Ditambahkan bahwa carnaval itu seharusnya tidak meninggalkan sampah, tidak dalam keramaian yang banyak membawa properti yang mahal harganya, pameran yang digelar Alie Gopal pun karnaval.

Dalam tulisan penngatar pameran Puji Qomariyah menyebutkan carnaval merupakan peristiwa seni-budaya yang disajikan berbasis waktu (time-based art) dengan terfokus pada performance art serta properti pendukungnya, dimana ketika karya tersebut selesai dipresentasikan maka selesailah peristiwa tersebut. Setelah selesai, ruang-ruang kota kembalil menjadi sunyi, dan hanya lalu-lalang pengunjung yang perlahan-lahan hilang dari sudut kota.  

Menjawab pertanyaan bagaimana dengan sampah yang ditinggalkan sebuah acara Carnaval?

Puji Qomariyah menjelaskan, belum tumbuhnya kesadaran bersama telah menempatkan sampah menjadi ‘carnaval’ kesunyian lain saat wilayah Yogyakarta dalam realitasnya dikepung oleh darurat sampah maupun permasalahan sosial-ekonomi lainnya, kemacetan, ruang terbuka hijau, daerah resapan air, ruang publik yang terprivatisasi, hingga saat ini.

“Carnaval kerap dijadikan sebagai etalase sekaligus ukuran perkembangan budaya suatu daerah. Budaya yang merupakan produk olah pikir-cipta-rasa manusia dalam memandang ruang hidup dan kehidupannya, menjadi wujud relasi antar-manusia yang harus berkembang dan berubah sepanjang waktu dan peradabannya. Bagaimanapun pada kota yang humanis, manusia adalah rupa kota itu sendiri. Budaya dan kota tidak akan tumbuh dalam perjumpaan warganya yang tuna ruang perjumpaan, dan tuna perjumpaan yang hangat dalam berbagai arah” imbuhnya lebih lanjut.

HERIDONO, Seniman senior yang ditemui Impessa.id merespon pameran yang digelar Alie Gopal tersebut.

“Saya kira carnaval itu berhubungan dengan apa-apa yang menjadi residu hasil dari kegembiraan orang dengan eforia tentang kebahagiaan secara bersama-sama tetapi efek dari itu menghasilkan sampah-sampah yang kemudian sulit untuk digunakan kembali. Di Rio De Janeiro – Brazil setiap tahun di adakan karnaval, saya pernah kesana, sampah-sampah karnaval itu sampai sulit ditanggulangi” akkunya.

“Pameran ini berhubungan dengan apa yang disebut Up-Cycle, benda-benda tak terpakai di olah lagi menjadi karya seni, suatu kritik membangun yang dikemukakan Alie Gopal. Kegembiraan tetapi ironi dari apa yang dilakukan manusia tentang pesan-pesan yang kelihatannya masuk ke wiayah peradaban dan budaya, tetapi kemudian menjadi persoalan seperti halnya di Jogja, tempat penampungan sampah yang mengalami krisis karena jumlahnya yang terlalu banyak, ini menjadi tanggungjawab masyarakat dan semua pihak yang terkait dengan persoalan kebudayaan dan bentuknya juga eksploratif, ada yang digantung, ada boneka atau wayang di atas kursi, itu semua punya pesan yang sifatnya silent. Karya Rupa itu yang berbicara tanpa harus ada kata-kata yang menyertainya” jelas Heridono.

Menaggapi pameran Alie Gopal “Carnaval Sunyi” atau ‘Slient Carnava’”, Dr Drs HAJAR PAMADI MA Hons mengulas lewat tulilsannya. “Saya melukis apa yang saya lihat, bukan apa yang ingin dilihat orang lain”. (Edouard Manet).

Memberi makna pameran Alie Gopla yang bertajuk Carnaval Sunyi, ada makna pribadi yang tersembunyi dari pamerannya. Bahwa apa yang dia lakukan, seperti melukis adalah jalan mengungkapkan pikiran, perasaan maupun angan-angan yang tidak kesampaian.

Lukisan yang dipamerkan seolah merupakan catatan harian. Mellukis dijadikan catatan perenungan tentang kehidupan sehari-hari melalui pengembaraan batin yag sangat unik. Pandangan yang sangat mempribadi ini, dituangkan menjadi karya seni bernuansa Seni Kontemporer, seperti Anggitan (Gubahan) Andi Warhol dan Picasso.

Dalam tajuk ’Carnival Sunyi’, Alie Gopal menyatakan dirinya sebagai bagian dari kehidupan sosial selayaknya Carnival kebutuhan dan harapan..

Alie Gopal mengambil tajuk Carnaval ditampilkan pada seni instalasi dan aspek-aspek yang di ekspresikan dalam berbagai ujud dan gaya. Barangkali kerja melukis seperti kerja Filsafat Pata-fisika atau Pata-visual. Pata-visual merupakan kelanjutan berfikir Meta-fisika, dimana pikiran diarahkan pada keinginan dan obyek yang diinginkan, ditangkap melalui kontemplasi sehingga melahirkan obyek baru visual didepannya. Kerja yang sangat membutuhkan konsentrasi ini dilakukan dengan proses pengembaraan batin yang tinggi, oleh karenanya muncul the Silent Carnival -Carnaval Sunyi.

Pameran seni rupa Carnival menjadi media yang efektif untuk menyampaikan banyak hal dalam Perayaan. Ada gagasan pemikiran, ekosistem, kritik sosial, politik, atau hanya kemeriahan semata. Carnaval tetap berjalan walaupun sunyi namun menghasilkan perjalanan yang aneh dan Trippy (memberi rekomendasi perjalanan). Jadilah makna arts image and ideas dari Alie Gopal tampak ketika menata benda tersebut menjadi arena estetika kontemporer. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)