Feature

Pameran Karya Visual Abnormal Baru, Dwi Putro x Nawa Tunggal -DPNT Di Jogja Gallery Alun-Alun Utara, Yogyakarta, 12-22 Oktober 2021

Pameran Karya Visual Abnormal Baru, Dwi Putro x Nawa Tunggal -DPNT Di Jogja Gallery Alun-Alun Utara, Yogyakarta, 12-22 Oktober 2021

Pameran Karya Visual Abnormal Baru, Dwi Putro x Nawa Tunggal -DPNT, Di Jogja Gallery, Alun-Alun Utara Yogyakarta, 12-22 Oktober 2021

Impessa.id, Yogyakarta: Seni rupa kontemporer dapat didefinisikan dengan melihat budaya yang mendasarinya. Budaya adalah bagaimana sebuah masyarakat memaknai kehidupan mereka melalui pandangan, pola pikir, dan perilaku. Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal yang dianggap "normal" atau "diterima" menurut mereka. Relativitas itu yang membuka cakrawala seni rupa kontemporer terhadap pembaharuan dalam bentuk serta pemaknaan akan karya seni. Sesuatu yang abnormal dalam suatu budaya dapat saja menjadi normal jika dimaknai dalam budaya lain.

Pameran karya seni visual "Abnormal Baru" oleh Dwi Putro X Nawa Tunggal (DPNT) yang diselenggarakan pada tanggal 12-22 Oktober 2021 di Jogja Gallery, bercerita tentang kegilaan sebagai bentuk penggerak karya seni kontemporer yang mendahulukan kebaruan dan penciptaan hal baru dalam dunia seni. Abnormalitas baru merupakan sebuah topik yang cukup dekat bagi semua orang, melihat situasi pandemi Covid-19 yang merombak tatanan serta rutinitas kehidupan dan memaksa orang-orang untuk mengenal, berdamai, dan hidup berdampingan dengan abnormalitas-abnormalitas baru yang semakin menjadi normal.

“Abnormal Baru” sebagai judul serta konsep pameran merupakan cara untuk meninjau kegilaan yang memiliki stigma abnormal sebagai sebuah nafas baru dalam ranah seni rupa kontemporer. Sebagai sebuah gerakan yang mengutamakan pembaharuan, seni kontemporer pada dasarnya berkaitan erat dengan abnormalitas yang tersemat dalam penciptaan hal-hal yang sepenuhnya baru. Karena itu, keterkaitan kegilaan dengan penciptaan karya seni rupa kontemporer oleh seniman Dwi Putro terkesan pada tempatnya dan natural, sebuah rumah bagi abnormalitas yang dilahirkannya. Absurditas yang dicerminkan oleh karya-karyanya seakan menjadi jendela ke dalam dunia yang lain, lensa baru yang mengajak kita untuk mengenali dan berempati pada perspektif yang lain.

Dalam pelaksanaan pameran, terdapat 50 kanvas berbagai ukuran yang dikerjakan selama 10 hari. Selama berlangsungnya pameran Pak Wi bekerja sedirian karena Nawa Tunggal kembali ke Jakarta. Sedangkan pada pembukaan pameran Pak Wi berkolaborasi dengan pelukis Nasirun, kolaborasi serupa pernah dilakukan pada 2013 di Jakarta. Selanjutnya dalam pembukaan penyair Joko Pinurbo merespon text yang ditulis pak Wi menjadi puisi. Penandaan pembukaan dilakukan dengan cara pelepasan burung. Melepas burung dari sangkarya menjadi simbol melepas segala kerinduan akan kebebasan. Melepas cerita, menyambut suka cita.

Pameran dibuka untuk umum dan diselenggarakan secara luring di Jogja Gallery, Jl. Pekapalan Nomor 7, Alun-Alun Utara, Yogyakarta. Pengunjung diharapkan untuk melakukan reservasi: bit.ly/ReservasiDPNT sebelum berkunjung, dan tetap menerapkan prokes Covid-19 yang diterapkan oleh pemerintah.

Berikut latar belakang munculnya DPNT “Abnormal Baru”;

DPNT Memenuhi Janji Masa Kecil

Dwi Putro atau akrab disapa Pak Wi memiliki nama Dwi Putra Mulyono Jati, lahir di Yogyakarta dalam kondisi prematur sekitar tujuh bulan, pada 10 oktober 1963. Selama dua bulan kelahirannya dirawat intensif di kotak inkubasi.

Pak Wi kecil tumbuh lazimnya seperti kanak-kanak. Ia riang bermain bersama dan bersekolah. Ia gemar sekali bersepeda. Suatu ketika menginjak kelas 3 Sekolah Dasar, muncul gangguan pendengaran dan Pak Wi lebih suka menyendiri. Proses belajarnya terganggu. Ia tidak naik kelas dan mengulang.

Ternyata di tahun berikutnya, ia tidak naik kelas lagi. Pihak sekolah menyarankan agar Pak Wi berpindah ke sekolah luar biasa (SLB) khusus tunarungu. Pak Wi lalu ngambek, tidak mau melanjutkan sekolah. Ia juga cemburu terhadap adiknya, Tri Atmojo Putro, yang tetap diperbolehkan sekolah di tempat itu dan naik kelas.

Pak Wi akhirnya terpaksa tidak mau bersekolah. Ia meminta dibelikan sepeda baru ayahnya, Sri Mulyono. Dari kesukaan bersepeda itu sempat mengantar Pak Wi ke suatu perlombaan balap sepeda “grass track” khusus anak-anak di lapangan Bibis, Bantul. Pak Wi sempat juara ketika itu.

Masa setahun pun berlalu. Pak Wi berhasil dibujuk untuk menempuh studi di SLB Negeri 1 Bantul, di Jalan Wates, Kadipiro, Yogyakarta. Pak Wi giat bersekolah. Ia pernah ikut kontingen pramuka mewakili sekolah itu untuk Jambore Pramuka di Cibubur, Jakarta.

Di luar sekolah, Pak Wi termasuk anak rajin. Ia diserahi tanggung jawab menimba air di sumur untuk mengisi bak mandi yang cukup besar setiap sore. Setelah itu, Pak Wi gemar menonton pergelaran padat wayang kulit di Agastya di Gedongkiwo, tak jauh dari tempat tinggalnya di Dukuh, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta.

Jatuh hati

Seperti anak remaja lain, Pak Wi pernah jatuh hati kepada gadis beda kelas di masa studi di SLB. Nama gadis itu, Teteh, dari Bandung. Pak Wi sering membolos dan mengintip Teteh di kelasnya. Ini cukup mengganggu proses belajar dan mengajar di sekolah itu.

Mungkin karena mengganggu, apalagi seharusnya sudah lulus studi di tingkat dasar, sekitar tahun 1983 Pak Wi dinyatakan lulus dan tidak boleh bersekolah lagi. Di sinilah lahir manifestasi gangguan mentalnya. Pak wi sering uring-uringan. Sasaran kemarahannya, biasanya adiknya persis, Tri Atmojo Putro, nomor tiga.

Pak Wi lahir dari keluarga besar, sebagai anak kedua dari 10 bersaudara. Nawa Tunggal sebagai anak ke sembilan. Suatu ketika, mungkin sekitar tahun 1983 itulah Nawa menjumpai kemarahan Pak Wi semalaman. Ia berteriak-teriak keras sepanjang malam. Kata-kata yang diingatnya, “Wani, piye?” atau “Berani, ya?” Ini sebuah tantangan dan ancaman Pak Wi yang ditujukan bagi adiknya, Tri Atmojo Putro. Tri dalam ketakutannya ketika itu harus diamankan dan dikunci di sebuah kamar. Sementara Pak Wi di luar pintu terus meneriakkan kata-kata itu dari petang hingga pagi. Bayangkan. Ini seperti kiamat kecil di rumah.

Di keesokan paginya, Nawa yang lahir 28 Juni 1974, itu terbangun dan hendak berangkat ke sekolah. Nawa masih menjumpai kelakuan Pak Wi yang sama, berteriak-teriak dengan kata yang sama. Nawa tercenung, lalu berangkat ke sekolah.

Sepulang sekolah, Nawa makan siang sendiri di meja makan keluarga yang cukup besar. Maklum, keluarga besar maka meja makan bersama harus besar juga. Ketika nasi tinggal sesuap di piring, Nawa berjalan ke arah pintu keluar rumah untuk melihat keramaian anak-anak seusianya yang sedang bermain di halaman. Tiba-tiba di pintu berdiri menghadang Pak Wi. Pak Wi mengacungkan jari kelingkingnya sebagai tanda tidak baik kepada Nawa yang makan sambil berjalan.

Sontak Nawa kaget dan tercenung kembali. Ia membayangkan, semalaman hingga pagi Pak Wi berteriak-teriak seperti orang gila. Ternyata siang itu Pak Wi bisa menjadi seorang kakak yang normal.

Nawa berpikir, semalaman Pak Wi sedang sakit dan semestinya harus dibantu. Nawa bertekad, kelak ketika dewasa ingin membantu Pak Wi. Ini janji masa kecil Nawa.  Tanpa disadari hal ini menggiring Nawa semasa bekerja sejak tahun 2000 untuk mendampingi Pak Wi melukis. Sepeninggal ayah (1996) dan ibu (1997), Pak Wi menjadi kurang teperhatikan. Bahkan, pada 2001 Nawa pernah menjumpai Pak Wi di jalanan membawa banyak puntung rokok di kantung celananya. Nawa terusik batinnya.

Waktu terus berlalu. Nawa tinggal di Malang, kemudian berpindah tugas ke Jakarta pada 2004, terus berusaha mendampingi Pak Wi untuk melukis. Nawa dalam situasi batin tidak menentu, tidak pernah bercerita tentang situasi dan kondisi Pak Wi kepada siapa pun.

Pada tahun 2007, Nawa mendapat motivasi dari seorang seniman, Samuel Indratma, di Yogyakarta untuk menghadirkan karya-karya Pak Wi di ruang publik. Berbagai kegiatan dan pameran dijalani. Akhirnya, pameran-pameran diikuti di Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung, dan Jepang.

Di Jepang, pameran difasilitasi Borderless Art No-Ma Museum, di kota Omihachiman, Prefektur Shiga, Jepang. Ada tiga kali pameran setiap tahun berturut-turut antara 2018-2020. No-Ma memberi pengalaman berharga bagi Nawa.

Di tahun 2019, Nawa memelopori kegiatan Outsider Artpreneur di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Pak Wi diajak ke Jakarta dan sempat diajak Nawa melukis dengan teknik cipratan cat di kanvas luas yang ditaruh di tanah. Setelah kanvas selesai, Pak Wi lalu menulisinya di rumah. Penggalan peristiwa ini sempat direkam video dan inilah cikal bakal lahirnya film Teaterikal Lukisan “Ruwat” di masa pandemi Covid 19 tahun 2020.

Film ini melatarbelakangi lahirnya konsep kerja kolaborasi antara Dwi Putro (DP) dan Nawa Tunggal (NT). Kemudian lahirlah DPNT sebagai konsep kerja kolaborasi antara Pak Wi dan Nawa. Lahir kemudian pameran DPNT yang diberi tajuk “Abnormal Baru”, di Jogja Gallery, Yogyakarta, 12-22 Oktober 2021. DPNT “Abnormal Baru” mengusung konseptualisasi kegilaan dan peradaban yang dituangkan Michel Foucault di dalam bukunya yang berjudul, Kegilaan dan Peradaban (Madness and Civilization).

Hal terakhir, menyangkut perasaan Nawa tentang karya DPNT. Tidak mudah untuk menyatakan ungkapan perasaan terkait literasi yang diangkat melalui pameran DPNT “Abnormal Baru”. Ada keprihatinan mendalam tentang penanganan orang-orang yang dianggap abnormal ternyata masih jauh dari harapan. Institusi negara yang berkepentingan juga tidak jelas dalam menyediakan akses-akses layanan bagi publik, terutama penyandang disabilitas mental.

Nawa berjibaku merawat kegilaan Pak Wi tanpa campur tangan negara. Pada akhirnya, hal yang dirasakan Nawa untuk merawat kegilaan itu sendiri sebagai upaya menjaga kewarasan. Banyak keriangan tersembunyi di situ. Demikian perjalanan hingga sekarang DPNT terwujud. DPNT tidak lain sebagai upaya memenuhi janji masa kecil Nawa. (Jakarta, 30 September 2021, Nawa Tunggal/Sujud Dartanto/Antok Wesman-Impessa.id)