Hangno Hartono Gelar Pameran Trilogi Mencari Arjuna Di Pendapa Sompilan-Ngasem Yogyakarta, 5-9 April 2021
Hangno Hartono saat dialog dengan Itock van Dera pada Pameran Trilogi Mencari Arjuna Di Pendapa Sompilan-Ngasem Yogyakarta, Senin (5/4/2021)
Impessa.id, Yogyakarta: Lewat 50-an karya-karya lukisan wayang kontemporer-nya Hangno Hartono menyuguhkan kritikan halus namun pedas. Satir yang dirasa pas dengan kondisi saat ini. Karakter Ksatria-Ksatria pewayangan sebagai suri tauladan dan panutan rakyat disandingkan, dicampur-adukkan, dikolasekan dengan sosok-sosok Raksasa sebagai lambang keangkaramurkaan, kedurjanaan dan segala hal yang sifatnya negatif.
Hangno Hartono menggelar cerita “Trilogi Mencari Arjuna”, dimulai dengan tampilan karakter raksasa bernama Buto Cakil dan Buto Terong. Buto Cakil merupakan representasi Kelincahan dan Buto Terong merepresentasikan Kemunafikan. Sudah bisa ditebak kearah mana alur cerita bergulir. “Kita masuk ke alam kehidupan saat ini, banyak orang-orang pandai tetapi berpikiran jahat meski dia sangat lincah dan akan selalu ketemu dengan hipokritas, kemunafikan dimana-mana,” ujar Hangno ketika dikonfirmasi Impessa.id, di sela-sela pembukaan pameran.
Kemudian dilanjutkan menuju beberapa karya lukis yang menggambarkan beragam jenis Raksasa atau Buto. “Buto itu abstrak, tidak jelas dan bagaimana itu, tetapi ciri utamanya memenjarakan otak. Jadi otak itu dibelenggu dengan aneka macam yang kita tidak menyadari bahwa kita itu dibelenggu, karakter Buto semacam itulah,” katanya lebih lanjut.
Pada lukisan Buto Ijo, Raksasa yang berwarna hijau, Hangno menuturkan, amorf Buto Ijo, artinya Buto itu tetap saja orientasinya uang. Cuma uang dan uang. Bagaimana cara mendapatkan uang. Itulah yang Buto Ijo konsen. Melalui berbagai karakter Buto, Hangno mengajak pengunjung pameran seni rupa wayang kontemporer untuk lebih tajam mengamati gerak-gerik siapa saja, apakah dia itu sejatinya siapa, artinya kita harus kritis terhadap segala sesuatu.
Pada lukisan Bala Kapi, berupa Kera yang implant aneka macam binatang seperti didalam naskah Ramayana. Dimaksudkan bahwa Buto itu menghalalkan segala cara, menggunakan cara apa saja dilakukan divisualkan dengan Bala Buto dan Bala Dhemit, yang bermakna kuasa-kuasa ketidakjelasan.
Lukisan selanjutnya adalah gambaran para Ksatria yang terkontaminasi oleh virus Buto. Sedangkan lukisan berjudul “Unfinished Buto” menggambarkan kelakuan yang disadari atau tidak disadari, telah mengundang Buto untuk datang. Sehingga Hangno menghadirkan satire “Dibawah Lindungan Kabah” menjadi “Dibawah Lindungan Buto” karena sekarang itu banyak Ksatria yang hidup tenang didalam lindungan Buto. Padahal sesungguhnya didalam dunia perwayangan, Ksatria dan Buto itu masing-masing mempunyai karakter yang sangat berbeda, saling bertentangan.
Lukisan wayang berjudul “Shadow” maknanya “Aku ini Ksatria tapi kok aku Buto”. Lukisan wayang berjudul “Loro-Loro ning A tunggal” maksudnya seorang Ksatria itu terkadang lupa dengan ke-Ksatria-annya dan yang muncul itu ke-Buto-annya, sehingga Buto dan Ksatria itu menjadi satu-kesatuan. Sedangkan lukisan wayang berjudul “Sungsang Bawana Walik” merupakan konsep dua dimensi, dimensi alam riil dan dimensi alam tidak riil. Di dalam dunia sosial juga begitu, ada alam Ksatria tetapi secara bersamaan dia juga berada di alam Buto.
Buku “Langit Makin Mendung” karya Panji Kusmin oleh Hangno di satirkan menjadi “Jakarta Makin Mendung” yang divisualisasikan dengan lukisan wayang para Buto yang mengincar Pusat untuk kepentingannya. Lukisan wayang berjudul “Dancing with Buto” menurut Hangno Dancing itu dalam Bahasa Jawa disebut Beksan yang bermakna Pemujaan. “Jadi kalau sudah menari dengan Buto, berarti dia sudah memuja Buto.
Kritik terhadap dunia Pendidikan “Ditya Kala Kubra Siswa” dia plesetkan menjadi berjudul “Ditya Kala Ubreg Iyik”. Ubreg dan Iyik adalah Bahasa Jawa yang maksudnya cuma debat melulu. “Pendidikan seharusnya melahirkan orang-orang yang Hening. Namun kecenderungan Pendidikan itu cuma alat industri. Bukan memanusiakan manusia tapi cenderung menjadi mata-rantai industri,” ungkap Hangno.
Lukisan wayang berjudul “Untouchable” yang berarti Yang Tak Tersentuh, menjadi tempat bersembunyi dibalik kuasa. Kekuasaan itu memang penting sebagai tempat persembunyian para Ksatria karena Ksatria telah berkolaborasi dengan Buto. Lukisan berjudul “Perjamuan Terakhir” oleh Hangno diplesetkan lewat lukisan wayang berjudul “Perjanjian Telah Berakhir” maksudnya sudah tidak ada lagi perjanjian diantara Ksatria dan Buto karena mereka telah bersatu-padu. Dalam pameran itu, Hangno juga menampilkan lukisan wayang para Ksatria Sejati, seperti Hanoman dan Kumbakarna. Sosok dengan pengabdian tinggi dan penuh totalitas.
Ada lukisan wayang berupa Raksasa Besar berlatar belakang warna merah polos berjudul “Buto Triwikrama”, maknanya, Melangkah Tiga Alam yakni; Alam Atas-Alam Tengah-Alam Bawah. “Didalam dunia pewayangan, Melangkah berarti Meditasi, Keheningan, karena itu sulit divisualisasikan maka saya hadirkan sebagai Buto Besar. Ketika hening itu dia melampaui tiga alam yang disebut Triwikrama,” ungkap Hangno.
Dalam fase di penghujung Trilogi Mencari Arjuna, terdapat lukisan wayang Arjuna yang sedang bersemedi di Indrakila, duduk diatas ular untuk mengolah enerji Kundalini dan dalam pengolahan itu digoda oleh Sapta Sindawa, tujuh bidadari yang sebetulnya simbol-simbol titik-titik Cakra.
Cerita ditutup dengan Arjuna Wiwaha atau Perkawinan, setelah kemenangan Arjuna berperang melawan Niwata Kawaca dan Arjuna menjadi Cakravatin. Kepada Impessa.id Hangno Hartono mengakui sebetulnya Cakravatin ini sudah ada nyata di Tanah Jawa. “Sultan Agung itu bergelar Hanyakrawati, dilanjutkan oleh Raja-Raja penerusnya yang bergelar Hamengku Buwono, Paku Alam, Mangkubumi, hingga yang terkenal dengan Tahta Untuk Rakyat HB 9, dimana pemimpin itu harus mencintai dan bertanggungjawab terhadap bumi dengan segala isinya, serta mencintai dan bertanggungjawab terhadap rakyat dengan segala keluh-kesahnya,” paparnya.
Dalam Naskah Suryaraja karya Pangeran Sundoro atau Sultan Hamengkubuwono II juga mendesain kepemimpinan Cakravartin tersebut untuk raja-raja Kesultanan Yogjakarta. Hal ini terlihat dalam nomenklatur gelar kerajawiannya seperti Hamangkubuwono, Paku Alam, dan Mangkubumi yang sangat memuliakan Bumi dan Alam. Sebab, bumi adalah sumber kehidupan.
Narasi pameran Trilogi Mencari Arjuna adalah mengikuti alur pergelaran wayang. Satu karya dengan karya lain saling terkait. Narasi dibagi dalam tiga sekuel, Pertama Ketemu Buto. Buto adalah representasi kuasa-kuasa non-moralis, misal, bila dikaitkan kekuasaan menjadi oligarki , bila dikaitkan dengan agama adalah demagog, bila pendidikan adalah dehumanisasi, bila ekonomi adalah kapitalis, dan lain-lain.
Sekuel kedua, Para Kesatria. Di dunia pewayangan, teladan kewayangan sangat banyak bisa dijadikan acuan pendidikan kepemimpinan. Misal, Mangkunegara IV menulis serat Tripama untuk contoh kepemimpinan dengan merujuk tiga tokoh wayang yaitu Suwanda, Kumbokarna, dan Karna. Kemudian Sekuel ketiga, Arjuna. Sebagai sang Cakravartin putra Betara Indra dari karya lukis diambil dari naskah Arjuna Wiwaha.
Setelah Pameran di Pendopo eks Asdrafi-Ndalem Pakuningratan, Yogyakarta, 5-9 April 2021, Hangno Hartono, seniman dari Omah Budaya dan Galeri Kahangnan Pringgading, Guwosari, Pajangan-Bantul, berencana mengelilingkan Pameran Seni Rupa Wayang Kontemporer kreasinya, untuk tahap pertama ke Kantong-Kantong Kebudayaan, ke Muntilan, ke Festival Lima Gunung dan ke Wonosobo.
Melalui karyanya, Hangno ingin menyampaikan bahwa seorang pemimpin itu orang yang Bumi Pati dan Praja Pati, konsep kepemimpinan yang ada di Bumi Nusantara sejak lama. Berhubung upaya tersebut dia lakukan sendiri, maka Hangno pun membuka pintu bagi siapapun yang peduli untuk berkolaborasi. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)