Ekonomi-Bisnis

Gerai Jamu Tradisional Ginggang Di Pakualaman Yogyakarta, Diserbu Anak Muda Millenial

Gerai Jamu Tradisional Ginggang Di Pakualaman Yogyakarta, Diserbu Anak Muda Millenial

Gerai Jamu Tradisional Ginggang Di Pakualaman Yogyakarta, Diserbu Anak Muda Millenial

Impessa.id, Yogyakarta : Di masyarakat Jawa ada istilah yang disebut dengan Pageblug, fenomena meninggalnya sekelompok orang secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh merebaknya wabah penyakit. Hal itu menyebabkan orang menjadi ketakutan dan panik, tak ayal menjadikan orang lebih waspada. Peristiwa itu pernah terjadi di Tanah Jawa ketika munculnya wabah penyakit Flu Spanyol di tahun 1918-1919, yang disebabkan oleh infeksi Virus H1N1 yang terbawa oleh traveler dari Eropa masuk lewat pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, mengakibatkan 4,26 Juta jiwa penduduk Jawa meninggal dunia, sumber dari hasil penelitian Siddharth Chandra Tahun 2011, berjudul “Mortality from the Influenza Pandemic 1918-1919 in Indonesia”.

Dalam menghadapi wabah tersebut, masyarakat Jawa mempunyai warisan pengobatan tradisional yakni Jamu. Jamu sebagai kearifan lokal untuk menghadapi berbagai penyakit dan populer di kalangan masyarakat Jawa, keberadaannya telah diketahui sejak zaman prasejarah dan terekam lewat relief-relief di Candi Borobudur. Bahkan pada naskah Jawa Kuno Serat Centhini yang ditulis tahun 1742 Tahun Jawa atau 1814 Masehi, racikan Jamu tradisional tercantum didalamnya, kini Serat Centhini sudah disalin kedalam berbagai bahasa.

Heboh merebaknya wabah Virus Corona Covid-19 tersebut oleh sebagian masyarakat Jogja dihadapi dengan beragam cara, salah satunya dengan minum Jamu tradisional tersebut. Di Yogyakarta, tepatnya di kawasan Pakualaman, di era kepemimpinan Adipati Paku Alam Ke-7, Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya -KGPAA Paku Alam VII, sekitar tahun 1930, ada seorang Abdi Dalem Kadipaten Paku Alaman bernama Bilowo, yang sehari-hari menyediakan Jamu untuk kalangan Istana, diijinkan untuk menjual Jamu tradisional racikannya ke masyarakat umum, seketika disambut positip oleh warga Yogyakarta. Bilowo membuka kedai Jamu bernama “Ginggang” di Jalan Masjid 32 Pakualaman Yogyakarta, dan tetap eksis hingga kini.

Serombongan anak muda nampak baru saja meninggalkan kursi mereka di dalam kedai Jamu “Ginggang” dan segera Impessa.id menyapa dan meminta waktu sejenak untuk berbincang-bincang. Haikal Hamdani, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, mewakili teman-temannya berasal dari Padang, Sumatera Barat, kepada Impessa.id membenarkan bahwa dirinya dan juga kawan-kawannya satu rombongan telah minum jamu tradisional khas Jawa di dalam. “Iya betul, saya sendiri tadi minum jamu “anti-Corona”, mixed antara Beras Kencur, Temu Lawak dan Kunir Asem, berawal dari keresahan merebaknya Covid-19, kenapa kita tidak mencoba minum jamu, yang jelas lebih sehat, dan pilihan Jamu Ginggang, kami sepakat bahwa ini harus dilestarikan,” ujarnya.

Sedangkan Sondarobi yang berasal dari Tegal memilih minum jamu “Watukan” mengingat dirinya kena gangguan Sinus. “Rasanya pas juga, semriwing gitu, jadi enak ditenggorakan,” akunya.

Sementara anak muda millenial lainnya bernama Faiz, mahasiswa S2, berasal dari Klaten-Jawa Tengah yang studi di Jogja, memilih minum jamu “Sehat Pria” tanpa Telur, tanpa Anggur. “Memang sejak kecil saya suka minum jamu sih, oleh ibu dulu sering di cekok-i, dan minum jamu itu terbawa sampai sekarang, di kost saya juga pelanggan Jamu Gendong, saya suka “Pahitan” baik yang dari Brotowali maupun yang dari Daun Kates, kalau minum jamu Beras Kencur itu rutin seminggu sekali hingga dua kali,” tutur Faiz kepada Impessa.id.

Faiz mengaku baru pertamakalinya ke Ginggang, dan menurutnya, begitu melihat tempatnya dia langsung menilai bahwa ini heritage banget sehingga perlu dilestarikan. “Melihat tempatnya yang masih vintage, otentik masih jaman dulu, belum ada perubahan, kesan pertama masuk ini tradisional banget nih, malah bagus sih konsepnya, original receipt-nya dapet gitu,” akunya.

Lain halnya Fatur yang berasal dari Pontianak, dan kini studi di Universitas Islam Negeri Yogyakarta, mengaku jarang minum jamu. “Pernah sih minum jamu Beras Kencur sewaktu masuk angin dulu, dan kemudian Fatur di Ginggang memilih minum jamu Sehat Pria. “Saya rasa penting itu minum jamu, terlebih kini isu virus lagi berkembang, jadi untuk meningkatkan imunitas tubuh itu, saya pikir minum jamu ini penting,” ujarnya.

Rudi Supriadi, generasi ke-5 penerus Jamu Ginggang kepada Impessa.id menuturkan adanya kearifan lokal di tlatah Kadipaten Pakualaman yang dilakukan oleh penduduknya yaitu Menari untuk olahraga menggerakkan seluruh anggota badan,  Minum Jamu, untuk menjaga kesehatan tetap prima, kemudian membatik untuk mengasah konsentrasi pikiran sambil berzikir. “Jamu itu hanya mencegah sakit, untuk memperkuat stamina dan daya tahan tubuh minum jamu secara rutin, dua kali seminggu,” ungkapnya.

Asal muasal nama Ginggang berawal dari seorang Tabib, sebagai Generasi Pertama Trah Jamu Ginggang, bernama Joyo Tan Genggang (1926), sebutan Genggang kalau dalam bahasa Jawa itu bermakna renggang, nah biar tidak renggang, biar tidak ada jarak, ada nama Tan, yang kemudian dihilangkan sehingga hanya tinggal nama Genggang, berhubung lidah orang Jawa itu luwes, fleksibel, maka ucapan Genggang dimudahkan menjadi Ginggang.

Generasi Kedua Trah Jamu Ginggang bernama Bilowo, diteruskan oleh Generasi Ketiga yakni Puspo Madya. Kemudian diteruskan oleh sebagai Generasi Ke-Empat Trah Jamu Ginggang, Budi Darmo yang tugasnya berlayar dan sering mengunjungi kafe-kafe, sehingga ketika Budi Darmo meneruskan bisnis Jamu Ginggang dia men-setting Kedai Jamu-nya layaknya sebuah kafe kala itu.

Jamu Ginggang hingga kini tetap mempertahankan pembuatan seluruh jamunya dari rempah-rempah yang digiling, di tumbuk dan di gerus secara konvensional menggunakan peralatan tradisional dari batu pilihan, pernah bereksperimen menggunakan mesin penggiling, ternyata rasa serta aroma yang dihasilkan berbeda dengan yang memakai cara manual.

Puluhan resep aseli tetap tersimpan rapi dalam buku “Rahasia” yang hanya boleh diketahui oleh keluarga Trah Jamu Ginggang saja. Racikan resep aseli tersebut kini bisa dinikmati oleh masyarakat luas untuk diminum ditempat ataupun dibungkus dibawa pulang.

Meski secara umum Jamu itu bukan obat penyembuh penyakit melainkan ramuan penjaga daya tahan tubuh, namun ada juga jamu yang bisa untuk penyembuh sakit, semisal “Watuk-an”. “Kalau ada orang yang terserang batuk, dianjurkan minum jamu Watuk-an, niscaya bisa sembuh,” tutur Rudi. Jamu Sehat Pria itu itu untuk menjaga stamina badan. “Jika anda lelah sehabis bekerja, minum Sehat Pria, atau Sehat Wanita, inshaa Allah besuk badan terasa segar kembali,” ujar Rudi menambahi. “Kalau jamu Paitan Sawanan itu untuk cuci darah, dan juga berkhasiat untuk menghilangkan bau keringat, bahkan bisa sebagai anti-alergi,” imbuhnya lebih lanjut.

Untuk jamu “Sawanan” berisi empon-empon Beras Kencur-Kunir Asem-Temu Lawak, yang disinyalir mampu memperkuat antibody guna mencegah Covid-19 di gerai Jamu Ginggang dijual dalam bentuk bubuk seharga lima-ribu rupiah. (Antok Wesman-Impessa.id)