Feature

Geliat Pariwisata Jogja Terus Bangkit Dari Keterpurukan Akibat Pandemi

Geliat Pariwisata Jogja Terus Bangkit Dari Keterpurukan Akibat Pandemi

Geliat Pariwisata Jogja Terus Bangkit Dari Keterpurukan Akibat Pandemi

Impessa.id, Yogyakarta: Meski dikejauhan tampak puncak Gunung Merapi menyemburkan asap putih membumbung tinggi, namun cuaca cerah pada Selasa sore hingga jelang senja, 20 Oktober 2020, telah mendukung suksesnya perhelatan Live Streaming Talkshow Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, berkaitan dengan komitmen bersama implementasi CHSE dan SOP Pranata Anyar Plesiran Jogja, bertempat di tepian swimming pool roof-top lantai 19 Indoluxe Hotel and Resort Jalan Palagan Tentara Pelajar, Sleman-Yogyakarta.

Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta tiada kenal lelah senantiasa berupaya membangkitkan kembali geliat industri pariwsata di DIY yang terpuruk akibat merebaknya wabah Covid-19 di muka bumi ini, sehingga penerbangan dunia terhenti dan dunia pariwisata Indonesia termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta terdampak parah bahkan terhenti total di awal-awal kemunculan pandemi meski kini mulai berangsur menapak bangkit, dan wisatawan domestik yang kini menjadi tumpuan kebangkitannya.

Kepada media online yang berbasis di Yogyakarta, Impessa.id, Kepala Dinas Pariwsata DIY, Singgih Raharjo menuturkan bahwa Live Streaming Talkshow yang digelar tersebut jangkauannya bisa lebih luas dibanding talkshow offlline, “Melalui live streaming ini content yang kami sampaikan bisa tersosialisasi lebih efektif dan bisa diulang-ulang diputar kembali, sehingga bagi yang tidak bisa mengikuti disaat yang sama, dapat menyimak talkshow ini melalui channel YouTubenya visitingjogja,” ujarnya.

Live Streaming Dispar DIY yang sepenuhnya dihandle oleh Tribun Jogja, menghadirkan empat pembicara masing-masing, Kadispar DIY Singgih Raharjo SH MEd, Dr Ani Wijayanti MM MPar CHE, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bina Sarana Informatika Yogyakarta, Heri Setiawan dari DPD ASITA DIY dan Andri Purwanto dari Piknikdong.com, dipandu moderator Venerabella Arin, diwarnai hiburan bersama Antabo Project band yang punya basecamp di jalan Kaliurang, dengan personil masing-masing, Ananta Mikhael vocalist-gitar, Andre -drum, Babas di bass, dan Tebo di keyboard.

Dalam kesempatan itu, Kadispar DIY Singgih Raharjo mengungkapkan, secara berangsur-angsur mulai dari pertengahan Juli 2020 sampai talkshow digelar, grafik menunjukkan adanya peningkatan kunjungan wisatawan ke Daerah Istimewa Yogyakarta. “Yang kita lihat di aplikasi googling Jogja, kita punya data-based disana, itu sudah bisa dilihat tren-nya, pada saat D-day, antara Selasa sampai dengan Jum’at, rata-rata 5-ribu-an wisatawan yang berkunjung ke Jogja atau ke destinasi. Kemudian begitu mulai Sabtu, itu sudah mulai naik, antara 17-ribu sampai dengan 25-ribu wisatawan per-harinya. Kemudian hari Minggu, sudah mulai naik lagi, antara 30-ribu sampai 40-ribu kunjungan di destinasi. Ini menunjukkan geliatnya sudah mulai bagus,” aku Singgih Raharjo.

“Tetapi pada waktu ada insiden demo anarkis di Malioboro, berdampak langsung terhadap turunnya wisatawan sekitar 5-7 ribu, ini yang kemudian bisa kita artikan bahwa faktor keamanan itu penting sekali. Pariwisata sensitif terhadap berita-berita atau aktivitas di sebuah wilayah, sehingga kita harus mempunyai strategi komunikasi yang baik, menjaga sebuah destinasi atau wilayah itu adem-ayem, sehingga masyarakat atau wisatawan itu percaya diri untuk datang.,” imbuhnya.

Upaya yang terus dilakukan pihak Dispar DIY yakni meningkatkan komitmen bekerja bersama-sama semua pihak khususnya para pengelola destinasi wisata untuk betul-betul mempersiapkan segala sesuatunya terkait dengan pemenuhan Protokol Kesehatan, diantaranya dengan memperketat pembatasan quota pengunjung guna memenuhi Protokol Jaga Jarak.

Berbicara tentang New Paradigm atau Paradigma Baru, Kadispar DIY Singgih Raharjo mengakui adanya tren yang peduli terhadap Kesehatan-Kebersihan-dan-Keamanan. “Tentu ini memaksa kita sebetulnya, jadi kalau tidak ada pandemi sebetulnya tren itu juga akan berubah tetapi tidak sedrastis ini, sekarang ini tren-nya kemudian akan menuju ke sebuah tren yang peduli sekali terhadap kesehatan, kebersihan, keamanan, dan lingkungan, CHSE,” ungkapnya.

CHSE singkatan dari Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability, yakni Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan serta Kelestarian Lingkungan yang terangkum didalam Buku Panduan yang peluncurannya secara nasional dilakukan di Yogyakarta, tepatnya di Pendopo Agung Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Kamis, 24 September 2020.

Panduan Pelaksanaan Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan serta Kelestarian Lingkungan atau CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability) merupakan panduan operasional dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Dalam peluncuran Buku Panduan CHSE tersebut, Direktur Wisata Pertemuan, Insentif, Konvensi dan Pameran Masruroh menuturkan pilihan Jogja sebagai tempat pertama untuk mengawali sosialisasi panduan CHSE karena Jogja begitu kreatif dalam mensosialisasikan CHSE, hingga mendapat perhatian khusus oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, disamping termasuk daerah yang rendah jumlah pasien yang positif terjangkiti Covid-19. Masruroh mengaku bangga karena, hotel-hotel di Yogyakarta sudah mulai buka, dengan wisatawan nusantara, sebelum wisatawan mancanegara boleh masuk lagi ke Indonesia.

Menurut Singgih Raharjo, otomatis kalau kita bicara tentang ekspektasi wisatawan maupun ekspektasi dari pengelola pariwisata untuk bisa menyediakan layanan CHSE, maka mau tidak mau kita harus kebijakannya mengarah kesitu juga, bagaimana kemudian orang yang tadinya Stay at Home, sudah terlalu lama, bosan di rumah, tapi ia juga ingin melakukan aktivitas pariwisata tapi dengan aman.

“Tentu ini kemudian menjadi bagian dari kebijakan untuk kita bisa meng-create itu, dengan cara ada protokol CHSE, ada SOP Pranatan Anyar Plesiran Jogja. Itu bagian upaya bagaimana kemudian kita tetap produktif tapi tetap aman, sehingga fear factor, rasa ketakutannya, para wisatawan untuk berkunjung ke Jogja itu tidak ada lagi. Bagaimana kita menumbuhkan kepercayaan diri, baik bagi pengelola maupun calon wisatawan yang ingin berkunjung,” imbuh Singgih Raharjo.

Terkait dengan istilah New Normal yang kemudian di pleset-kan menjadi Normal Kembali, dianggap sudah normal lantas Protokol Kesehatan menjadi diabaikan, Singgih Raharjo menepisnya. “Seharusnya tidak begitu, sehingga yang lebih tepat yakni Kebiasaan Baru dengan Kesehatan, Kebersihan, kemudian Keamanan dan Lingkungan,”.

Paradigma Baru Pariwisata yaitu dengan mengedepankan CHSE, dan melakukan upaya pemulihan destinasi wisata, menyediakan sarana dan prasarana, melatih pengelola, melakukan simulasi, sampai dengan verifikasi meyakinkan bahwa CHSE dan destinasi wisata di Yogyakarta, sudah melakukan protokol dan SOP (Standard Operation Procedure) Pranatan Anyar Plesiran Jogja.

Untuk menciptakan ecosystem digital, berupa pembayarannya dengan cashless, tidak perlu antri lagi, cukup dengan reservasi secara online, hal itu langsung menjawab pertanyaan terkait dengan the New Paradigm Tourism. “Sekarang ini tren-nya orang tidak berwisata dengan rombongan yang besar, kalau dulu study tour itu bus-bus gitu ya, sekarang tidak lagi, maka kemudian ini juga harus ditangkap, kita membuat paketnya yang kecil-kecil untuk 10 orang, komunitas ibu-ibu, komunitas sepeda, komunitas arisan, itu kita tangkap karena sekarang ini 10 sampai 20 masih sangat menungkinkan untuk di arrange, itu yang menjadi potensi yang harus kita garap, resikonya juga tidak terlalu tinggi dan Protokol Kesehatan tetap ditegakkan,” jelas Singgih Raharjo.

Lebih lanjut Kadispar DIY mengatakan, “Banyak yang bisa dilakukan tidak hanya sekedar Seeing di Jogja, tetapi juga Activity. Misal, untuk belajar bagaimana membatik, dari sisi udaya dapet, dari sisi edukasi dapet, dan dari sisi ekonomi juga dapet, karena setelah belajar membatik wisatawan dipastikan beli batik. Tentang experience, experience yang dicari adalah Culture. Culture Experience ini yang kemudian banyak dicari wisatawan. Local Content kemudian banyak yang dicari, apa yang tidak didapatkan di suatu daerah asalnya maka kemudian akan dicoba di daerah sini. Disni kog unik, misalnya, di Alun-Alun Kidul dengan Masangin-nya, itu kan tidak ada duanya dimanapun. Kemudian muncul rasa, saya harus kesana, saya harus mencoba, ini merupakan aktivitas lokal yang otentik,”

Gudeg Jogja itu menjadi indikasi geografis Jogja, akan lain rasanya kalau kita menikmati Gudeg ketika berada di Jawa Barat, misalnya. Juga kuliner-kuliner khas lainnya yang perlu didorong untuk menjadi daya tarik wisata Jogja.

Sementara itu Dr Ani Wijayanti menyatakan memang ada perubahan paradigma pariwisata, paradigma pariwisata itu selalu terjadi. Kembali ke tahun 1980-an, sudah ada paradigma bahwa mulai ada kesadaran pada eco-wisata, bahwa pariwisata itu sudah tidak lagi meng-eksploitasi, namun sudah ada kesadaran harus berkelanjutan.

“Kini ada paradigma pariwisata baru, terkait dengan Covid-19, orang mempunyai pola-pola perilaku yang berbeda, kini orang mulai mencari experience baru, terjadi perubahan drastis terutama terhadap Kesehatan, CHSE sebenarnya sudah ada karena ada kaitannya dengan Sapta Pesona, namun orang tidak peduli, sehingga dengan kemunculan pandemi ini menjadikan semua orang menjadi sadar diri bahwa kesehatan itu penting”, tutur Ani Wijayanti.

Menurut Heri Setiawan dari DPD ASITA DIY, saat ini yang menjadi tugas berat adalah mengembalikan kepercayaan, atau Trust, karena orang sudah tidak lagi percaya dengan omongan belaka, sehingga harus dibuktikan dengan aksi-aksi nyata, dan pihak Dinas Pariwisata DIY telah melakukan banyak hal guna membuktikan kepada khalayak luas terlebih calon wisatawan yang ingin ke Jogja, segala sesuatunya telah sesuai dengan CHSE dan SOP yang ditetapkan.

Salam Pesona Indonesia – Wonderfull Indonesia! (Feature Impessa.id by Kusnadi-Antok Wesman)